Kesenian tradisional tak akan punah selama ada penggiatnya. Salah satu yang tetap bertahan dan cukup digandrungi adalah reog Ponorogo. Di Surabaya terdapat 64 unit reog. Namun, hanya sekitar 23 unit yang aktif tampil di festival maupun menggelar pertunjukan.
SEKARING RATRI ADANINGGAR
WAJAHNYA merah, gigi bertaring, mata melotot, dan rambutnya panjang kemerahan. Raut muka menyeramkan itu menghiasi dinding ruang tamu Sugianto. ''Itu namanya topeng ganongan,'' katanya sambil menunjuk dua topeng yang biasa dipakai pemain reog dengan kostum kaus merah bergaris putih dilapisi baju hitam itu.
Tepat di bawah salah satu wajah sangar itu diletakkan sebuah topeng singo barong -biasa dipakai penari pembawa dadak merak-- di atas kursi tamu. Hampir semua hiasan dinding rumah di kampung reog Kertajaya itu bertema reog. Klop dengan pemiliknya, Sugianto, yang sore itu berpakaian serba hitam plus udeng menghiasi kepalanya.
Hidup Sugianto memang tak bisa lepas dari kesenian asal Ponorogo itu. Dia merupakan salah satu penggiat reog di metropolis. Reog Singo Mangkujoyo yang dipimpinnya, merupakan peguyuban reog legendaris di Surabaya. Itulah reog pertama di metropolis.
Paguyuban dengan kekuatan 40 penari itu reputasnya juga sudah diakui di tingkat nasional. Mereka rajin mengikuti festival mulai tingkat regional sampai tingkat nasional. Berbagai kemenangan diraih, termasuk menjadi tiga besar dalam festival reog bergengsi, Grebeg Suro di Ponorogo.
Pengelola reog yang dibentuk pada 1963 itu kini sudah memasuki generasi ketiga. "Yang mengawali berdirinya paguyuban ini bapak saya, Pak Wagiyo,'' kata Sugianto. ''Kemudian dilanjutkan kakak saya, Padijoyo, kemudian saya yang mengambil alih sekitar tahun 2000," lanjut pria 45 tahun itu.
Kelahiran Reog Singo Mangkujoyo diawali perjalanan Wagiyo yang merantau ke Surabaya. Pria asal Ngawi itu menghidupi diri sebagai penari jaranan keliling. Dalam perjalanannya, Wagiyo kemudian bergabung sebuah kelompok reog di bawah naungan perbekalan dan angkutan (bek-ang) Kodam V Brawijaya.
Tak berapa lama, dia mendirikan paguyuban reog kecil-kecilan. Tumbuh dan besar di kalangan reog, sejak kecil Gianto -panggilan Sugianto-- sudah mahir menari ganongan. Beranjak dewasa, ayah dua putra itu beralih menjadi penari jatilan, menari menggunakan kuda lumping. "Sebelum tahun 90-an, para penari jatil itu semuanya laki-laki,'' kata pria kelahiran 10 Oktober 1963 itu. ''Baru sekitar tahun 1995, mulai banyak penari jatil perempuan," lanjutnya.
Puas menjadi penari jatilan, dia menjajal posisi yang lebih berat, menjadi penari singo barong yang membawa dadak merak di atas kepala dengan cara digigit. "Karena kakak saya jatuh sakit, jadi saya diminta mengambil alih paguyuban," tuturnya.
Mendapat tanggung jawab yang tidak enteng, Gianto berupaya keras memajukan paguyuban. Dia merangkul banyak pihak, khususnya pihak keluarga untuk membantunya. Kini, Reog Mangkujoyo total punya 100 personel, termasuk 40 penari yang hampir semuanya anggota keluarga besar Gianto. Mereka umumnya dari kalangan menengah ke bawah, semisal tukang becak, kuli batu, supir taksi hingga satpam.
Dengan latar belakang seperti itu, tak pelak mereka menjadikan reog sebagai matapencaharian utama. "Nari reog sudah jadi penggawean mereka Mbak," kata suami Sumarmi itu.
Karena itu, Gianto tidak pernah kesulitan mengarahkan tim penarinya. "Tak ada yang males-malesan, hampir semuanya disiplin," ujarnya. Berkat kedisplinan dan loyalitas itu, Reog Singo Mangkujoyo tak pernah sepi order. Bahkan, mereka sudah pernah mengunjungi Malaysia, Thailand, sampai Italia.
Gianto mengakui, gempuran budaya asing membuat dia bekerja ekstrakeras untuk mempertahankan reog. Caranya, antara lain menambah atraksi dan akrobat serta memperkaya tari kreasi tradisional dalam pertunjukan.
Tidak jarang mereka menampilkan atraksi ekstrem, semisal makan pecahan kaca atau menusuk badan dengan besi. "Kalau tidak begitu, ya kalah sama pertunjukan kebudayaan dari luar," ujar Gianto juga bertindak sebagai pelatih tari itu.
Padahal, untuk membuat atraksiu semacam itu tidak mudah. Untuk atraksi makan beling misalnya, penari jaranan harus dibuat kesurupan. ''Kondisi kesurupan tersebut dipandu seorang pawang. Dialah yang mengawali sekaligus mengakhiri kondisi kesurupan itu,'' tutur Gianto. Penari ini menyadari, seusai pertunjukan dia akan merasakan sakit di sekujur tubuhnya.
Penari yang bertugas membawa dadak merak juga harus melakukan ritual sebelum pentas. Mereka memang diwajibkan punya ilmu kebatinan. Sebelum pentas, biasanya mereka berpuasa selama tiga hari. Dua hari pertama, hanya boleh makan nasi putih. Pada hari terakhir, tidak makan dan minum sama sekali.
Mereka juga harus berlatih fisik. Caranya mirip latihan angkat besi. Hanya, beban yang diangkat berupa tiang bambu yang diberi besi cor-coran. Beban tersebut tak diangkat dengan tangan, melainkan dengan gigi. Dengan posisi rebahan, mereka bergerak naik turun, mirip sit up.
Jika reog pimpinan Gianto menjadikan tumpuhan hidup, paguyuban reog Singo Projo Wijoyo merupakan wadah berkesenian. "Saya ini sangat menggemari seni tari. Dulu saya pernah jaya waktu jadi penari ketoprak di kampung saya, Wonogiri," kata Somin Riyanto, pemilik Singo Projo Wijoyo, tergelak.
Karena itu, ketika ada reog dijual, pria 52 tahun itu pun membelinya. "Sekitar setahun lalu, ada orang yang menjual reognya. Alasannya, alat-alatnya lengkap tapi personel tidak ada,'' kata pria asli Wonogiri itu. ''Waktu itu saya tak lagi main gamelan, jadi saya beli,'' lanjutnya.
Somin memang menggemari seni. Dia kerap kali jadi wirasworo, penyanyi pria dalam kelompok karawitan. Di tangan ayah empat anak itu, reog yang kemudian diberi nama paguyuban Reog Singo Projo, berkembang pesat.
Pria yang tinggal di kawasan Bendul Merisi itu terus berupaya melengkapi personelnya. Dia mengajak anak-anak muda di sekitar rumahnya untuk bergabung dengan reog miliknya. Sekitar 30 personel berhasil direkrut. Namun, pria kelahiran 7 Januari 1956 itu mengakui tidak gampang merekrut personel. "Salah satu kendala mengembangkan reog itu ya susah ngajak anak muda," keluhnya.
Selain memberdayakan tetangga sekitar, Somin juga giat mempromosikan reognya ke pusat-pusat perbelanjaan. "Saya biasanya menyebar brosur atau datang langsung ke bagian marketing mal untuk memberikan informasi tentang reog saya," katanya.
Tak hanya itu, untuk membuktikan keseriusannya, Somin menyedikan pelatih tari. Masalah transportasi juga tidak ada masalah. "Saya menyediakan tiga mobil untuk transportasi," ujarnya.
Berkat keseriusannya, Somin diangkat menjadi pengurus Persatuan Unit Reog Surabaya. Selain itu, kiprah reog binaannya juga mulai berkibar, termasuk tampil di berbagai even dalam dan luar.
Namun, Gianto maupun Somin mengaku prihatin dengan kondisi reog Surabaya. "Selain tidak banyak yang aktif, mereka juga selalu kekurangan personel," kata Somin. Karena itu, pinjam-meminjam personel antarpaguyuban merupakan hal biasa. (cfu)
SEKARING RATRI ADANINGGAR
WAJAHNYA merah, gigi bertaring, mata melotot, dan rambutnya panjang kemerahan. Raut muka menyeramkan itu menghiasi dinding ruang tamu Sugianto. ''Itu namanya topeng ganongan,'' katanya sambil menunjuk dua topeng yang biasa dipakai pemain reog dengan kostum kaus merah bergaris putih dilapisi baju hitam itu.
Tepat di bawah salah satu wajah sangar itu diletakkan sebuah topeng singo barong -biasa dipakai penari pembawa dadak merak-- di atas kursi tamu. Hampir semua hiasan dinding rumah di kampung reog Kertajaya itu bertema reog. Klop dengan pemiliknya, Sugianto, yang sore itu berpakaian serba hitam plus udeng menghiasi kepalanya.
Hidup Sugianto memang tak bisa lepas dari kesenian asal Ponorogo itu. Dia merupakan salah satu penggiat reog di metropolis. Reog Singo Mangkujoyo yang dipimpinnya, merupakan peguyuban reog legendaris di Surabaya. Itulah reog pertama di metropolis.
Paguyuban dengan kekuatan 40 penari itu reputasnya juga sudah diakui di tingkat nasional. Mereka rajin mengikuti festival mulai tingkat regional sampai tingkat nasional. Berbagai kemenangan diraih, termasuk menjadi tiga besar dalam festival reog bergengsi, Grebeg Suro di Ponorogo.
Pengelola reog yang dibentuk pada 1963 itu kini sudah memasuki generasi ketiga. "Yang mengawali berdirinya paguyuban ini bapak saya, Pak Wagiyo,'' kata Sugianto. ''Kemudian dilanjutkan kakak saya, Padijoyo, kemudian saya yang mengambil alih sekitar tahun 2000," lanjut pria 45 tahun itu.
Kelahiran Reog Singo Mangkujoyo diawali perjalanan Wagiyo yang merantau ke Surabaya. Pria asal Ngawi itu menghidupi diri sebagai penari jaranan keliling. Dalam perjalanannya, Wagiyo kemudian bergabung sebuah kelompok reog di bawah naungan perbekalan dan angkutan (bek-ang) Kodam V Brawijaya.
Tak berapa lama, dia mendirikan paguyuban reog kecil-kecilan. Tumbuh dan besar di kalangan reog, sejak kecil Gianto -panggilan Sugianto-- sudah mahir menari ganongan. Beranjak dewasa, ayah dua putra itu beralih menjadi penari jatilan, menari menggunakan kuda lumping. "Sebelum tahun 90-an, para penari jatil itu semuanya laki-laki,'' kata pria kelahiran 10 Oktober 1963 itu. ''Baru sekitar tahun 1995, mulai banyak penari jatil perempuan," lanjutnya.
Puas menjadi penari jatilan, dia menjajal posisi yang lebih berat, menjadi penari singo barong yang membawa dadak merak di atas kepala dengan cara digigit. "Karena kakak saya jatuh sakit, jadi saya diminta mengambil alih paguyuban," tuturnya.
Mendapat tanggung jawab yang tidak enteng, Gianto berupaya keras memajukan paguyuban. Dia merangkul banyak pihak, khususnya pihak keluarga untuk membantunya. Kini, Reog Mangkujoyo total punya 100 personel, termasuk 40 penari yang hampir semuanya anggota keluarga besar Gianto. Mereka umumnya dari kalangan menengah ke bawah, semisal tukang becak, kuli batu, supir taksi hingga satpam.
Dengan latar belakang seperti itu, tak pelak mereka menjadikan reog sebagai matapencaharian utama. "Nari reog sudah jadi penggawean mereka Mbak," kata suami Sumarmi itu.
Karena itu, Gianto tidak pernah kesulitan mengarahkan tim penarinya. "Tak ada yang males-malesan, hampir semuanya disiplin," ujarnya. Berkat kedisplinan dan loyalitas itu, Reog Singo Mangkujoyo tak pernah sepi order. Bahkan, mereka sudah pernah mengunjungi Malaysia, Thailand, sampai Italia.
Gianto mengakui, gempuran budaya asing membuat dia bekerja ekstrakeras untuk mempertahankan reog. Caranya, antara lain menambah atraksi dan akrobat serta memperkaya tari kreasi tradisional dalam pertunjukan.
Tidak jarang mereka menampilkan atraksi ekstrem, semisal makan pecahan kaca atau menusuk badan dengan besi. "Kalau tidak begitu, ya kalah sama pertunjukan kebudayaan dari luar," ujar Gianto juga bertindak sebagai pelatih tari itu.
Padahal, untuk membuat atraksiu semacam itu tidak mudah. Untuk atraksi makan beling misalnya, penari jaranan harus dibuat kesurupan. ''Kondisi kesurupan tersebut dipandu seorang pawang. Dialah yang mengawali sekaligus mengakhiri kondisi kesurupan itu,'' tutur Gianto. Penari ini menyadari, seusai pertunjukan dia akan merasakan sakit di sekujur tubuhnya.
Penari yang bertugas membawa dadak merak juga harus melakukan ritual sebelum pentas. Mereka memang diwajibkan punya ilmu kebatinan. Sebelum pentas, biasanya mereka berpuasa selama tiga hari. Dua hari pertama, hanya boleh makan nasi putih. Pada hari terakhir, tidak makan dan minum sama sekali.
Mereka juga harus berlatih fisik. Caranya mirip latihan angkat besi. Hanya, beban yang diangkat berupa tiang bambu yang diberi besi cor-coran. Beban tersebut tak diangkat dengan tangan, melainkan dengan gigi. Dengan posisi rebahan, mereka bergerak naik turun, mirip sit up.
Jika reog pimpinan Gianto menjadikan tumpuhan hidup, paguyuban reog Singo Projo Wijoyo merupakan wadah berkesenian. "Saya ini sangat menggemari seni tari. Dulu saya pernah jaya waktu jadi penari ketoprak di kampung saya, Wonogiri," kata Somin Riyanto, pemilik Singo Projo Wijoyo, tergelak.
Karena itu, ketika ada reog dijual, pria 52 tahun itu pun membelinya. "Sekitar setahun lalu, ada orang yang menjual reognya. Alasannya, alat-alatnya lengkap tapi personel tidak ada,'' kata pria asli Wonogiri itu. ''Waktu itu saya tak lagi main gamelan, jadi saya beli,'' lanjutnya.
Somin memang menggemari seni. Dia kerap kali jadi wirasworo, penyanyi pria dalam kelompok karawitan. Di tangan ayah empat anak itu, reog yang kemudian diberi nama paguyuban Reog Singo Projo, berkembang pesat.
Pria yang tinggal di kawasan Bendul Merisi itu terus berupaya melengkapi personelnya. Dia mengajak anak-anak muda di sekitar rumahnya untuk bergabung dengan reog miliknya. Sekitar 30 personel berhasil direkrut. Namun, pria kelahiran 7 Januari 1956 itu mengakui tidak gampang merekrut personel. "Salah satu kendala mengembangkan reog itu ya susah ngajak anak muda," keluhnya.
Selain memberdayakan tetangga sekitar, Somin juga giat mempromosikan reognya ke pusat-pusat perbelanjaan. "Saya biasanya menyebar brosur atau datang langsung ke bagian marketing mal untuk memberikan informasi tentang reog saya," katanya.
Tak hanya itu, untuk membuktikan keseriusannya, Somin menyedikan pelatih tari. Masalah transportasi juga tidak ada masalah. "Saya menyediakan tiga mobil untuk transportasi," ujarnya.
Berkat keseriusannya, Somin diangkat menjadi pengurus Persatuan Unit Reog Surabaya. Selain itu, kiprah reog binaannya juga mulai berkibar, termasuk tampil di berbagai even dalam dan luar.
Namun, Gianto maupun Somin mengaku prihatin dengan kondisi reog Surabaya. "Selain tidak banyak yang aktif, mereka juga selalu kekurangan personel," kata Somin. Karena itu, pinjam-meminjam personel antarpaguyuban merupakan hal biasa. (cfu)
Sumber : Jawa Pos, 27 Agustus 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita rembug bersama, agar kesenian reog lebih berkwalitas dan berkembang, tetapi jika ngobrol tanpa ada ACTION sama halnya BO'ONG, maka setelah kita ngbrol sambil NGOPI kita TATA gamelan dan langsung kita REOGAN.....