• Selama 17 Tahun Reog Sadhulur Seto Bertahan Dalam Keterbatasan

    JAUH di negeri perantauan tak membuat Mujiono melupakan negeri asal, tanah Ponorogo. Berawal dari kegelisahan melihat kesenian Jawa yang kurang berkembang, di tahun 1993 lalu, berdirilah Paguyuban Sadhulur Seto (Macan Putih). Bermodalkan Rp 15 juta.

    untuk membeli peralatan reog, perkumpulan itu mampu mengumpulkan hingga 40 orang. Ketika mendirikan paguyuban reog tersebut, Mujiono mengaku, hanya berbekal pengalaman sebagai pembuat gamelan. Sebelum tahun 1980-an, ketika masih bermukim di Ponorogo, pria yang beristrikan Sulastri (40) ini adalah pembuat gamelan. Ketika akhirnya memutuskan merantau ke Samarinda, 1980, profesi itu pun tetap digeluti.

    Sebagai orang perantauan, selama kurun waktu itu memang tak banyak perkembangan seni Jawa yang dilihatnya di Samarinda. Meskipun sebenarnya ada beberapa perkumpulan reog yang berusaha berkiprah menjaga kesenian asli Ponorogo tersebut, tapi dirasa belum semarak.

    Berbekal satu kepala singa (rata-rata setinggi 2,5 meter, ada mahkota yang terbuat dari bulu burung merak) itu, Mujiono menancapkan kiprah kesenian di Kota Tepian. Ketika berdiri, hanya ada satu niat paguyuban harus mampu mengikat tali silaturahmi di kalangan orang-orang Jawa. Tak kenal menjadi kenal, yang jauh menjadi dekat. Ternyata benar, Mujiono langsung mendapat respon bagus dari kalangan Jawa.

    “Alhamdulillah kepercayaan masyarakat Jawa yang bermukim di Kaltim begitu besar. Bahkan selama 17 tahun ini, saya sudah main ke seluruh Kaltim kecuali wilayah utara. Saya tak ingat lagi, berapa kali tampil. Tapi setidaknya sudah ratusan kali,” ungkapnya. Sejak berdiri hingga sekarang, anggota perkumpulan reog ini tak ada perubahan drastis. Ada yang keluar, tapi tak banyak.

    Mereka bergabung karena perasaan menjaga kesenian reog Ponorogo. Menghidupi paguyuban bagi Mujiono adalah sebuah seni juga. Tetap bertahan selama 17 tahun ini hanya bermodalkan satu tekad, memberikan yang terbaik untuk kesenian Jawa. Kini paguyuban punya tiga set peralatan reog (satu reog rata-rata seharga Rp 35 juta). Peralatan dibeli dari hasil menyisihkan uang kas sebesar Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta setiap kali tampil.

    Tahun 2007 lalu pernah dapat bantuan dari Pemkot Samarinda sebesar Rp 15 juta. Dana sebesar itu digunakan untuk menambah singa barong dan alat-alat lainnya. Setiap kali tampil pemain reog dapat berapa? Rata-rata hanya Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu. “Meski kecil, rata-rata pemain senang. Bagi mereka, yang penting melestarikan kesenian Jawa. Tapi saya tetap berusaha setiap bulan setidaknya mereka bisa tampil,” ungkapnya.

    Rata-rata per bulan bisa tampil 3-4 kali. Puncak penampilan adalah ketika hari besar nasional, termasuk setelah Hari Raya Idul Adha. Mengelola 40 orang itu bukanlah pekerjaan gampang. Ada banyak karakter, pemain juga datang dari latar belakang yang berbeda. Ada yang berprofesi sebagai guru, buruh, petani, pegawai swasta hingga pembuat tahu.

    Setiap minggu, selalu ada latihan rutin. Menjelang tampil bisa dua kali latihan dalam seminggu. “Pemain bersikap profesional, meski dalam keterbatasan,” ayah dua anak ini, Tri Agung dan Puji Astuti. Kini lelaki berusia 52 tahun itu tak gusar lagi.

    Sudah ada generasi kedua yang siap mengurusi, yakni Tri Agung. Meski baru berusia 20 tahun dan masih kuliah, namun sang anak telah memperlihat bakat yang luar biasa dalam mengelola paguyuban. Inilah yang membuat pekerjaan Mujiono menjadi terbantu. “Dalam setiap pementasan reog, Tri selalu membantu. Dia juga berbakat memainkan peran yang ada dalam kesenian reog,” ungkapnya.

    http://www.kaltimpost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=53105
    19 Feb 2010
  • You might also like

    2 komentar:

    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      BalasHapus
    2. Perlu di ingat bahwa reog yg berada di samarinda bukan hanya sadhulur seto, melainkan lebih dari 5 grup yang bernaung untuk melestarikan budaya bangsa.
      ini blog penipu & tidak tau juga sebenarnya reog yang berada di samarinda itu seperti apa.
      reog saya juga di gresik tidak seperti reog sadhulur seto yang di publikasikan ke media dari segi kekurangannya.
      jangan di perpecah belah, jangan jadi orang sok tau, karena orang sok tau bakal malu karena mengekspost kekurangan dari grup / diri orang lain.
      tolong di hapus postingan sadhulur seto ini, karena tidak layak untuk dipublikasikan di media karena menyangkut paut kn kekurangan dari group sadhulur seto itu sendiri.

      BalasHapus

    Mari kita rembug bersama, agar kesenian reog lebih berkwalitas dan berkembang, tetapi jika ngobrol tanpa ada ACTION sama halnya BO'ONG, maka setelah kita ngbrol sambil NGOPI kita TATA gamelan dan langsung kita REOGAN.....

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

Cari Blog Ini



Free Widgets
Free Counter

Networked Blogs

Visitors

Picture of Reog dance

Facebook

Profil Facebook Bahrudin Khoiri

NeoCounter

Follow me

Max Dien - Find me on Bloggers.com

KELANA