BAJU dan celana besar hitam, sabuk kulit, kolor bertali warna putih, terbalut rapi dalam postur tubuh yang kekar. Dalam sejarah Reyog Ponorogo, penampilan itu biasa disebut warok: sosok bermuka garang, kumis lebat, dengan langkahnya yang gagah saat berjalan di pendapa alun-alun kota.
Ada juga unsur lain: penari singo barong atau biasa disebut dadak merak, gadis cantik yang “mengendarai” kuda kepang, termasuk aksi penari remaja bujang ganong.
Dari tengah kerumunan, muncullah sang legenda, Raja Kelono Sewandono. Perjalanan sang raja untuk mencari gadis pujaan pun dimulai.
Bak wayang orang, suasana itu menandai pembukaan Festival Reyog Nasional (FRN) ke-XVI yang masuk dalam rangkaian Grebeg Suro. Sebuah agenda budaya sekaligus tradisi tahunan masyarakat Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, dalam menyambut datangnya tahun baru Islam.
Berawal dari sebuah legenda kuno masyarakat Ponorogo, pergelaran ini telah memasuki tahun ke-16. Namun, pergelaran seni reyog yang biasanya berkaitan erat dengan Bulan Muharram (orang Jawa menyebutnya Sasi Suro) telah menjadi tradisi turun-temurun. Bukan saja dalam rangka menyambut datangnya Bulan Suro, reyog telah menjadi kekayaan utama daerah ini, sekaligus sebagai aset budaya Indonesia.
Beberapa adegan yang ditampilkan dalam alur pementasan reyog sebenarnya tidak mengikuti skenario khusus. Namun, menurut cerita beberapa budayawan setempat, kekuatan alur pertunjukan itu terletak pada interaksi sang penari dengan para penonton, tanpa mengurangi nilai filosofi yang ditularkan lewat wujud kepala harimau bermahkota burung merak ini.
Alhasil, saat acara tahunan ini digelar, benar-benar menjadi magnet luar biasa bagi warga setempat. Meski dimulai selepas pukul 19.00 WIB, puluhan ribu warga telah memadati alun-alun kota itu sejak sore. Tak hanya penonton lokal, di antara mereka banyak juga berasal dari daerah sekitar: Pacitan, Trenggalek, Magetan, Madiun, hingga Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Kerja keras Pemkab Ponorogo tahun ini mampu menggaet 51 grup kesenian reyog dari berbagai daerah di Tanah Air: dari pulau Sumatera, Kalimantan, Bali, hingga Papua. Dari jumlah itu, 26 grup di antaranya berasal dari seniman-seniman lokal dari berbagai kecamatan di Ponorogo.
Jumlah tersebut agaknya tak beda dengan tahun sebelumnya. Namun tahun ini ada beberapa peserta yang baru pertama kali ikut. Antara lain: dari Palembang dan Papua. Bahkan, grup reyog dari Jakarta dan Kalimantan yang tahun sebelumnya hanya mengirim satu regu, kali ini mengirim dua regu.
Wajar salah satu rangkaian pembukaan Grebeg Suro ini menyedot perhatian puluhan ribu pasang mata. Sebab, sebelum puncak acara dilakukan, beberapa pertunjukan disajikan di atas panggung terbuka. Seperti: seni tari batik dari Yogyakarta. Juga kolaborasi tari Songgolangit dengan model peragaan busana yang diperankan siswa-siswi sekolah tingkat atas setempat.
Tak hanya penampilan anak-anak sekolah, kalangan mahasiswa pun turut memeriahkan pergelaran budaya ini. Seperti: pergelaran tari reyog yang disajikan apik oleh beberapa mahasiswa dari salah satu universitas terkemuka di Ponorogo. Para pemuda itu tampak gagah menggigit topeng barong atau dadak merak seberat sekitar setengah kwintal.
Dalam kesempatan itu, Bupati Ponorogo Muhadi Suyono mengatakan, agenda yang telah menjadi tradisi ini kiranya mampu menjadi prestasi tersendiri. Seluruh rangkaian acara dalam Grebeg Suro termasuk FRN ini diklaim Muhadi sebagai bentuk apresiasi pemkab setempat atas seni dan seniman di Ponorogo.
Tentu, termasuk seniman dari luar kota yang mengikuti ajang Grebeg Suro, serta menjadi penegas eksistensi kesenian daerah. Termasuk sebagai sarana promosi wisata Ponorogo di tingkat nasional, bahkan internasional.
Dengan begitu, seni reyog diharapkan mampu menjadi magnet bagi para wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Ujung-ujungnya, sebagai penggerak ekonomi masyarakat setempat. “Keseniannya memang lokal, tapi gaungnya sudah internasional,” kata Muhadi Suyono.
Berangkat dari legenda sang Raja Bantarangin, Kelono Sewandono, penggambaran laku seni reyog ini pun dimulai. Menurut budayawan setempat, Ahmad Tobroni, filosofi yang terkandung dalam tarian reyog ini berangkat dari kisah pencarian tambatan hati Raja Kelono Sewandono.
Alkisah, saat itu raja yang terkenal dengan senjata Pecut Samagini itu menjatuhkan pilihan pada seorang putri dari Kediri bernama Dewi Songgolangit. “Tapi, tidak semudah itu sang raja meluluhkan hati sang dewi. Sebab, Dewi Songgolangit mengajukan sebuah syarat,” kata Tobroni yang juga salah satu sesepuh sekaligus tokoh warok.
Apa syaratnya? Dewi Songgolangit mengatakan: harus ada mahar berupa sebuah kesenian yang belum pernah ada di muka bumi. Maka, sejak itulah terciptalah seni reyog dengan empat peran yang merupakan gambaran Kerajaan Bantarangin: Raja Sewandono, Patih Bujang Ganong, sekelompok prajurit kekar yang disebut warok, serta singa barong penguasa hutan setempat bernama Hutan Lodaya.
Jika ditelisik, sebenarnya ada tiga versi reyog yang beredar kuat di kalangan sesepuh Reyog Ponorogo: versi Bantarangin, versi Ki Ageng Kutu Suryangalam, dan versi Batoro Katong. Dalam kaitan itu, tahun 1992 silam, pemerintah setempat sempat membentuk tim kerja yang bertugas meneliti sejarah alur kesenian reyog.
Akhirnya, versi Bantarangin, yang merujuk pada zaman Kerajaan Kediri (abad ke-11) dianggap sebagai versi tertua. Kemudian versi Ki Ageng Kutu Suryangalam yang merujuk pada masa pemerintahan Bhre Kertabumi di Majapahit (abad ke-15). Serta diakhiri kekalahan Ki Ageng Kutu Suryangalam yang beragama Buddha oleh Batara Katong yang beragama Islam di abad yang sama. Hingga merujuk pada perkembangan penyebaran agama Islam di Ponorogo.
Bahkan, hingga saat ini, alur cerita kesenian reyog telah mengalami beberapa inovasi. Tetapi, tetap tidak meninggalkan filosofi dasarnya. Termasuk beberapa irama nada slendro dan pelog yang berasal dari kempul, ketuk, kenong, genggam, ketipung, angklung dan salompret.
Saat ini, eksistensi reyog yang telah menggema ke seluruh dunia tampaknya menjadikan pemerintah setempat bekerja ekstrakeras. Tujuan, mempertahankan potensi budaya warisan leluhur itu. Termasuk belajar dari pengalaman sebelumnya, yang sempat diklaim negara tetangga sebagai tari Barongan warisan Melayu dari Batu Pahat, Johor dan Selangor, Malaysia.
Ada juga unsur lain: penari singo barong atau biasa disebut dadak merak, gadis cantik yang “mengendarai” kuda kepang, termasuk aksi penari remaja bujang ganong.
Dari tengah kerumunan, muncullah sang legenda, Raja Kelono Sewandono. Perjalanan sang raja untuk mencari gadis pujaan pun dimulai.
Bak wayang orang, suasana itu menandai pembukaan Festival Reyog Nasional (FRN) ke-XVI yang masuk dalam rangkaian Grebeg Suro. Sebuah agenda budaya sekaligus tradisi tahunan masyarakat Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, dalam menyambut datangnya tahun baru Islam.
Berawal dari sebuah legenda kuno masyarakat Ponorogo, pergelaran ini telah memasuki tahun ke-16. Namun, pergelaran seni reyog yang biasanya berkaitan erat dengan Bulan Muharram (orang Jawa menyebutnya Sasi Suro) telah menjadi tradisi turun-temurun. Bukan saja dalam rangka menyambut datangnya Bulan Suro, reyog telah menjadi kekayaan utama daerah ini, sekaligus sebagai aset budaya Indonesia.
Beberapa adegan yang ditampilkan dalam alur pementasan reyog sebenarnya tidak mengikuti skenario khusus. Namun, menurut cerita beberapa budayawan setempat, kekuatan alur pertunjukan itu terletak pada interaksi sang penari dengan para penonton, tanpa mengurangi nilai filosofi yang ditularkan lewat wujud kepala harimau bermahkota burung merak ini.
Alhasil, saat acara tahunan ini digelar, benar-benar menjadi magnet luar biasa bagi warga setempat. Meski dimulai selepas pukul 19.00 WIB, puluhan ribu warga telah memadati alun-alun kota itu sejak sore. Tak hanya penonton lokal, di antara mereka banyak juga berasal dari daerah sekitar: Pacitan, Trenggalek, Magetan, Madiun, hingga Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Kerja keras Pemkab Ponorogo tahun ini mampu menggaet 51 grup kesenian reyog dari berbagai daerah di Tanah Air: dari pulau Sumatera, Kalimantan, Bali, hingga Papua. Dari jumlah itu, 26 grup di antaranya berasal dari seniman-seniman lokal dari berbagai kecamatan di Ponorogo.
Jumlah tersebut agaknya tak beda dengan tahun sebelumnya. Namun tahun ini ada beberapa peserta yang baru pertama kali ikut. Antara lain: dari Palembang dan Papua. Bahkan, grup reyog dari Jakarta dan Kalimantan yang tahun sebelumnya hanya mengirim satu regu, kali ini mengirim dua regu.
Wajar salah satu rangkaian pembukaan Grebeg Suro ini menyedot perhatian puluhan ribu pasang mata. Sebab, sebelum puncak acara dilakukan, beberapa pertunjukan disajikan di atas panggung terbuka. Seperti: seni tari batik dari Yogyakarta. Juga kolaborasi tari Songgolangit dengan model peragaan busana yang diperankan siswa-siswi sekolah tingkat atas setempat.
Tak hanya penampilan anak-anak sekolah, kalangan mahasiswa pun turut memeriahkan pergelaran budaya ini. Seperti: pergelaran tari reyog yang disajikan apik oleh beberapa mahasiswa dari salah satu universitas terkemuka di Ponorogo. Para pemuda itu tampak gagah menggigit topeng barong atau dadak merak seberat sekitar setengah kwintal.
Dalam kesempatan itu, Bupati Ponorogo Muhadi Suyono mengatakan, agenda yang telah menjadi tradisi ini kiranya mampu menjadi prestasi tersendiri. Seluruh rangkaian acara dalam Grebeg Suro termasuk FRN ini diklaim Muhadi sebagai bentuk apresiasi pemkab setempat atas seni dan seniman di Ponorogo.
Tentu, termasuk seniman dari luar kota yang mengikuti ajang Grebeg Suro, serta menjadi penegas eksistensi kesenian daerah. Termasuk sebagai sarana promosi wisata Ponorogo di tingkat nasional, bahkan internasional.
Dengan begitu, seni reyog diharapkan mampu menjadi magnet bagi para wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Ujung-ujungnya, sebagai penggerak ekonomi masyarakat setempat. “Keseniannya memang lokal, tapi gaungnya sudah internasional,” kata Muhadi Suyono.
Berangkat dari legenda sang Raja Bantarangin, Kelono Sewandono, penggambaran laku seni reyog ini pun dimulai. Menurut budayawan setempat, Ahmad Tobroni, filosofi yang terkandung dalam tarian reyog ini berangkat dari kisah pencarian tambatan hati Raja Kelono Sewandono.
Alkisah, saat itu raja yang terkenal dengan senjata Pecut Samagini itu menjatuhkan pilihan pada seorang putri dari Kediri bernama Dewi Songgolangit. “Tapi, tidak semudah itu sang raja meluluhkan hati sang dewi. Sebab, Dewi Songgolangit mengajukan sebuah syarat,” kata Tobroni yang juga salah satu sesepuh sekaligus tokoh warok.
Apa syaratnya? Dewi Songgolangit mengatakan: harus ada mahar berupa sebuah kesenian yang belum pernah ada di muka bumi. Maka, sejak itulah terciptalah seni reyog dengan empat peran yang merupakan gambaran Kerajaan Bantarangin: Raja Sewandono, Patih Bujang Ganong, sekelompok prajurit kekar yang disebut warok, serta singa barong penguasa hutan setempat bernama Hutan Lodaya.
Jika ditelisik, sebenarnya ada tiga versi reyog yang beredar kuat di kalangan sesepuh Reyog Ponorogo: versi Bantarangin, versi Ki Ageng Kutu Suryangalam, dan versi Batoro Katong. Dalam kaitan itu, tahun 1992 silam, pemerintah setempat sempat membentuk tim kerja yang bertugas meneliti sejarah alur kesenian reyog.
Akhirnya, versi Bantarangin, yang merujuk pada zaman Kerajaan Kediri (abad ke-11) dianggap sebagai versi tertua. Kemudian versi Ki Ageng Kutu Suryangalam yang merujuk pada masa pemerintahan Bhre Kertabumi di Majapahit (abad ke-15). Serta diakhiri kekalahan Ki Ageng Kutu Suryangalam yang beragama Buddha oleh Batara Katong yang beragama Islam di abad yang sama. Hingga merujuk pada perkembangan penyebaran agama Islam di Ponorogo.
Bahkan, hingga saat ini, alur cerita kesenian reyog telah mengalami beberapa inovasi. Tetapi, tetap tidak meninggalkan filosofi dasarnya. Termasuk beberapa irama nada slendro dan pelog yang berasal dari kempul, ketuk, kenong, genggam, ketipung, angklung dan salompret.
Saat ini, eksistensi reyog yang telah menggema ke seluruh dunia tampaknya menjadikan pemerintah setempat bekerja ekstrakeras. Tujuan, mempertahankan potensi budaya warisan leluhur itu. Termasuk belajar dari pengalaman sebelumnya, yang sempat diklaim negara tetangga sebagai tari Barongan warisan Melayu dari Batu Pahat, Johor dan Selangor, Malaysia.
Jurnal Nasional, 19 Des 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita rembug bersama, agar kesenian reog lebih berkwalitas dan berkembang, tetapi jika ngobrol tanpa ada ACTION sama halnya BO'ONG, maka setelah kita ngbrol sambil NGOPI kita TATA gamelan dan langsung kita REOGAN.....