
Masa kampanye Partai Politik dan Caleg sudah berakhir dan Pemilihan Umum sudah berlangsung. Selama masa kampanye, semua Parpol dan Calegnya tentu berharap mendapat simpati dari masyarakat. Berbagai cara dan strategi mereka terapkan untuk mencapai cita - citanya, yaitu mendapatkan simpati masyarakat, kampanyenya dipenuhi orang dan tentunya mendapat suara yang banyak. Salah satu cara yang trend dipakai adalah menggunakan kesenian tradisional, karena dengan menampilkan kesenian tradisional dari suatu daerah akan membuat kesan bahwa parpol atau caleg mempunyai kepedulian terhadap kesenian tradisional (menurut pendapat yang mempunyai hajat kampanye). Salah satu kesenian tradisional yang laris manis di "pinjam" untuk berkampanye adalah Kesenian Reog. Mungkin kesenian Reog dipandang bisa dan mampu mengumpulkan massa yang luar biasa.
Memang kesenian Reog mempunyai kelebihan dalam mengumpulkan massa, hal ini terbukti dari perjalanan sejarah kesenian Reog. Pada jaman Belanda kesenian sudah dilarang tampil karena Belanda khawatir dan takut ada pemberontakan rakyat. Jepang juga demikian, melarang kesenian Reog untuk dipertontonkan karena berpontensi untuk menggalang massa. Pada masa tahun 1955, 1960 - 1967 kesenian Reog berkembang pesat karena digunakan Partai Politik untuk berpropaganda. Selama Orde Baru pun kesenian Reog masih digunakan Parpol untuk mengumpulkan masa dan masih diboncengi partai politik. Belanda, Jepang dan semua Partai Politik yang ada pada masanya, memanfaatkan kesenian Reog karena melihat potensi kesenian Reog mempunyai kemampuan mengumpulkan massa dan mendapat simpati masyarakat yang luar biasa.
Fenomena ini terlihat jelas pada setiap kampanye yang menampilkan kesenian Reog dapat dipastikan pengunjung kampanye dari salah satu partai akan ramai. Dari yang hadir dalam kampanye tersebut, belum jelas apakah yang hadir benar - benar konstituen parpol atau memang hanya tertarik dari kesenian Reog. Salah satu Grup yang diundang oleh salah satu partai politik mengatakan bahwa grupnya sangat terbuka bagi siapa saja yang ingin menampilkan kesenian reog, tidak mempedulikan partai politik apa. Sikap ini merupakan sikap yang harus diambil oleh sebuah Grup kesenian Reog dan senimannya, karena berbayai pengalaman sejarah sudah membuktikan bahwa kesenian dan seniman Reog hanya menjadi korban Partai politik. Sebut saja pada jaman Lekra ada Cabang Kesenian Reog Agama (Cakra) milik Partai NU, BREN (Barisan Reog Nasional) milik Partai Nasional Indonesia. BRP (Barisan Reog Ponorogo) milik Partai Komunis Indonesia, KRIS (Kesenian Reog Islam) milik Masyumi, juga pada masa Orde Baru ada gerakan KUNINGISASI kesenian Reog.
Berkaca dan belajar dari perjalanan sejarah tersebut, sikap indepensi grup dan seniman Reog patut kita apresiasi. Kesenian Reog murni suatu kesenian yang hanya menampilkan estetika seni dan menjadi milik kita semua (bangsa Indonesia). Dan semoga para politikus tidak mengotori dan mengintervensi paguyuban Reog ke kancah politik.
ikut memeriahkan Kebudayaan Ponorogo!!!!!
BalasHapusmari lestarikanbudaya bangsa ;)
BalasHapusmari lestarikan budaya kita :)
BalasHapus