SYAHDAN, Demang Ki Ageng Suryangalam, seorang petinggi Majapahit, sangat prihatin melihat tingkah rajanya. Brhe Kertabumi, Raja Majapahit yang beristrikan putri Campa dari Cina, menuruti apa saja kehendak istri yang satu itu. Karena itu, Suryangalam lalu menciptakan kesenian reog: penari bertopeng harimau yang ditunggangi burung merak. Si bertopeng harimau adalah Singabarong, menyimbolkan Raja Kertabumi. Merak, itulah permaisuri dari seberang. Jelas maksud petinggi itu: menyindir sang raja.
Itulah salah satu versi cerita lahirnya reog Ponorogo. Tapi entah kenapa versi ini "berkembang." Tabroni, sesepuh reog Ponorogo kini, tak tahu mengapa perkembangan itu terjadi.
Menurut Tabroni, Ki Ageng Mirah, ajudan Adipati Batoro Katong, adik Raja Demak yang memerintah Ponorogo, sekitar tahun 1440, kemudian memasukkan kisah yang lain ke dalam kesenian reog. Cerita itu begini.
Tersebutlah Prabu Klanasewandono dari Kerajaan Bantarangin (mestinya ini di Ponorogo) yang jatuh cinta dan berniat mempersunting putri Songgolangit dari Kerajaan Kediri, demikianlah kisah berawal. Klanasewandono mengutus patihnya, bernama Bujangganong dan sepasukan prajurit untuk melamar sang putri. Di hutan Roban, perbatasan Kediri, rombongan dihadang oleh Raja Singabarong beserta pasukannya yang terdiri atas harimau dan burung merak. Bujangganong kalah. Klanasewandono, yang marah, lalu memimpin sendiri pasukannya.
Singkat kata, terjadilah perang tanding antara Klanasewandono dan Singabarong, dan sang rajalah yang menang. Sebagai tanda Singabarong tunduk kepada Raja Klana, ia bersedia ikut mengiringinya meminang putri Songgolangit. Berangkatlah persekutuan mendadak itu ke Kerajaan Kediri, dengan iringan tetabuhan. Singabarong dan pasukannya pun ikut menari-nari. Kata hikayat, pinangan Raja Klana pun diterima tanpa halangan.
Untuk memperingati peristiwa ini, diciptakanlah tarian reog, melukiskan pertempuran antara Raja Klana dan Singabarong. Kisah inilah yang disuguhkan pertunjukan reog hingga kini.
Tapi mungkin reog lebih tua dari versi Songgolangit. Prasasti Kerajaan Kanjuruhan (kini Malang), bertahun 760 Masehi, menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, sudah menyebut kesenian reog. Prasasti Kerajaan Kediri dan Jenggala, bertarikh 1045, pun sudah menceritakan reog.
Yang jelas, di Ponorogo, reog memang merakyat. Pernah, di masa jayanya, tiap desa di kabupaten ini mempunyai rombongan reog. Dalam pemilu Republik Indonesia pertama, tahun 1955, reog dipakai sebagai alat penghimpun massa. Dan inilah salah satu sebab Masyumi kalah di Ponorogo: partai Islam itu enggan memanfaatkan reog karena para warok pemainnya kadang-kadang minum minuman keras. Tak jelas bagaimana dengan NU.
Kini, dari 303 desa di Kabupaten Ponorogo, hanya setengahnya yang masih memiliki perkumpulan reog yang bisa diandalkan. Salah satu grup yang menonjol adalah Pujangga Anom pimpinan Kasni Gunopati itu. Karena itu, upaya Pemda Ponorogo mendirikan Padepokan Reog senilai ratusan juta patut dihargai. Harapannya, di padepokan itu grup reog bebas mengembangkan kreasinya, bukannya di-"seragamkan". Biar lebih ramai.
Itulah salah satu versi cerita lahirnya reog Ponorogo. Tapi entah kenapa versi ini "berkembang." Tabroni, sesepuh reog Ponorogo kini, tak tahu mengapa perkembangan itu terjadi.
Menurut Tabroni, Ki Ageng Mirah, ajudan Adipati Batoro Katong, adik Raja Demak yang memerintah Ponorogo, sekitar tahun 1440, kemudian memasukkan kisah yang lain ke dalam kesenian reog. Cerita itu begini.
Tersebutlah Prabu Klanasewandono dari Kerajaan Bantarangin (mestinya ini di Ponorogo) yang jatuh cinta dan berniat mempersunting putri Songgolangit dari Kerajaan Kediri, demikianlah kisah berawal. Klanasewandono mengutus patihnya, bernama Bujangganong dan sepasukan prajurit untuk melamar sang putri. Di hutan Roban, perbatasan Kediri, rombongan dihadang oleh Raja Singabarong beserta pasukannya yang terdiri atas harimau dan burung merak. Bujangganong kalah. Klanasewandono, yang marah, lalu memimpin sendiri pasukannya.
Singkat kata, terjadilah perang tanding antara Klanasewandono dan Singabarong, dan sang rajalah yang menang. Sebagai tanda Singabarong tunduk kepada Raja Klana, ia bersedia ikut mengiringinya meminang putri Songgolangit. Berangkatlah persekutuan mendadak itu ke Kerajaan Kediri, dengan iringan tetabuhan. Singabarong dan pasukannya pun ikut menari-nari. Kata hikayat, pinangan Raja Klana pun diterima tanpa halangan.
Untuk memperingati peristiwa ini, diciptakanlah tarian reog, melukiskan pertempuran antara Raja Klana dan Singabarong. Kisah inilah yang disuguhkan pertunjukan reog hingga kini.
Tapi mungkin reog lebih tua dari versi Songgolangit. Prasasti Kerajaan Kanjuruhan (kini Malang), bertahun 760 Masehi, menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, sudah menyebut kesenian reog. Prasasti Kerajaan Kediri dan Jenggala, bertarikh 1045, pun sudah menceritakan reog.
Yang jelas, di Ponorogo, reog memang merakyat. Pernah, di masa jayanya, tiap desa di kabupaten ini mempunyai rombongan reog. Dalam pemilu Republik Indonesia pertama, tahun 1955, reog dipakai sebagai alat penghimpun massa. Dan inilah salah satu sebab Masyumi kalah di Ponorogo: partai Islam itu enggan memanfaatkan reog karena para warok pemainnya kadang-kadang minum minuman keras. Tak jelas bagaimana dengan NU.
Kini, dari 303 desa di Kabupaten Ponorogo, hanya setengahnya yang masih memiliki perkumpulan reog yang bisa diandalkan. Salah satu grup yang menonjol adalah Pujangga Anom pimpinan Kasni Gunopati itu. Karena itu, upaya Pemda Ponorogo mendirikan Padepokan Reog senilai ratusan juta patut dihargai. Harapannya, di padepokan itu grup reog bebas mengembangkan kreasinya, bukannya di-"seragamkan". Biar lebih ramai.
Moebanoe Moera dan K. Candra Negara (Surabaya)
Sumber : Tempo,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita rembug bersama, agar kesenian reog lebih berkwalitas dan berkembang, tetapi jika ngobrol tanpa ada ACTION sama halnya BO'ONG, maka setelah kita ngbrol sambil NGOPI kita TATA gamelan dan langsung kita REOGAN.....