Bau kemenyan menyebar di sekitar perangkat gamelan yang diletakkan di depan Joglo, Sriwedari, kemarin. Seorang pemain reog mengelilingi gamelan sembari mengasapinya. Pemain lain berdiam diri. Mulutnya komat-kamit. Mereka tengah bersiap untuk menggelar Kirab Reog dari Sriwedari menuju Balai Kota Surakarta sejauh 5 kilometer sebagai rangkaian acara Hari Jadi Kota Surakarta ke-264 yang jatuh pada Selasa besok.
Seusai berdoa, satu-persatu kelompok Reog diberangkatkan. Dalam masing-masing kelompok biasanya ada pembawa dadak merak, yaitu topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota dari bulu burung merak. Ada pula penari berpakaian serba hitam dengan muka dipoles warna merah, putri pengiring, dan penari kuda lumping. Setiap kelompok terdiri atas 20-30 orang.
Atraksi berlangsung di sepanjang jalan. Terkadang mereka berhenti, dan saat itulah sang pembawa dadak merak meliuk-liukkan kepala singanya ke arah penonton, atau penari kuda lumping berjumpalitan yang disambut dengan tepuk tangan penonton. "Reog makin berkembang. Dulu sekitar tahun 1980 jumlahnya masih sedikit," ujar Suparman, 57 tahun, warga Pasar Kliwon.
Menurut Kepala Dinas Pariwisata Surakarta Purnomo Subagyo, dipilihnya reog dalam kirab sebagai upaya memperkenalkan berbagai jenis budaya yang tumbuh di Surakarta. "Kita tak boleh terpaku hanya pada kebudayaan asli seperti wayang atau tari-tarian," kata Purnomo. Sebab, kata dia, sebagai kota budaya, Surakarta juga harus membuka diri terhadap budaya lain.
Apalagi, Purnomo menambahkan, banyak masyarakat menginginkan reog menjadi bagian dari kebudayaan wong Solo. "Kami meresponsnya dengan membentuk paguyuban Reog Surakarta," ujarnya. Saat ini sudah bergabung 11 kelompok reog. Ia berharap akan muncul kelompok reog di setiap kelurahan. Paguyuban akan menjadi penggerak perkembangan reog di Surakarta.
Purnomo menepis kekhawatiran bahwa reog akan menggantikan kesenian yang telah mapan, seperti wayang atau tari-tarian. Justru, kata dia, kesenian-kesenian itu akan saling melengkapi. "Jangan heran ketika nanti kesenian kethek ogleng, jaran dor, dan barongsai bisa hidup berdampingan dengan kesenian asli Surakarta macam wayang kulit," tuturnya.
Suprapto Suryodarmo, budayawan Surakarta, mendukung pendapat Purnomo. Dia mengatakan sejatinya reog telah ada jauh sebelum Keraton berdiri di Surakarta. "Reog tenggelam karena yang sering muncul adalah kebudayaan Keraton seperti tari, sedangkan reog murni kesenian rakyat," ujarnya.
Tapi, Retno Tri Hastuti, warga Kemlayan, menilai reog tak sesuai dengan budaya Solo dan karakter wong Solo yang santun dan lemah lembut. "Buat saya, tetap lebih baik wayang dan tarian," kata Retno. UKKY PRIMARTANTYO
Seusai berdoa, satu-persatu kelompok Reog diberangkatkan. Dalam masing-masing kelompok biasanya ada pembawa dadak merak, yaitu topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota dari bulu burung merak. Ada pula penari berpakaian serba hitam dengan muka dipoles warna merah, putri pengiring, dan penari kuda lumping. Setiap kelompok terdiri atas 20-30 orang.
Atraksi berlangsung di sepanjang jalan. Terkadang mereka berhenti, dan saat itulah sang pembawa dadak merak meliuk-liukkan kepala singanya ke arah penonton, atau penari kuda lumping berjumpalitan yang disambut dengan tepuk tangan penonton. "Reog makin berkembang. Dulu sekitar tahun 1980 jumlahnya masih sedikit," ujar Suparman, 57 tahun, warga Pasar Kliwon.
Menurut Kepala Dinas Pariwisata Surakarta Purnomo Subagyo, dipilihnya reog dalam kirab sebagai upaya memperkenalkan berbagai jenis budaya yang tumbuh di Surakarta. "Kita tak boleh terpaku hanya pada kebudayaan asli seperti wayang atau tari-tarian," kata Purnomo. Sebab, kata dia, sebagai kota budaya, Surakarta juga harus membuka diri terhadap budaya lain.
Apalagi, Purnomo menambahkan, banyak masyarakat menginginkan reog menjadi bagian dari kebudayaan wong Solo. "Kami meresponsnya dengan membentuk paguyuban Reog Surakarta," ujarnya. Saat ini sudah bergabung 11 kelompok reog. Ia berharap akan muncul kelompok reog di setiap kelurahan. Paguyuban akan menjadi penggerak perkembangan reog di Surakarta.
Purnomo menepis kekhawatiran bahwa reog akan menggantikan kesenian yang telah mapan, seperti wayang atau tari-tarian. Justru, kata dia, kesenian-kesenian itu akan saling melengkapi. "Jangan heran ketika nanti kesenian kethek ogleng, jaran dor, dan barongsai bisa hidup berdampingan dengan kesenian asli Surakarta macam wayang kulit," tuturnya.
Suprapto Suryodarmo, budayawan Surakarta, mendukung pendapat Purnomo. Dia mengatakan sejatinya reog telah ada jauh sebelum Keraton berdiri di Surakarta. "Reog tenggelam karena yang sering muncul adalah kebudayaan Keraton seperti tari, sedangkan reog murni kesenian rakyat," ujarnya.
Tapi, Retno Tri Hastuti, warga Kemlayan, menilai reog tak sesuai dengan budaya Solo dan karakter wong Solo yang santun dan lemah lembut. "Buat saya, tetap lebih baik wayang dan tarian," kata Retno. UKKY PRIMARTANTYO
Sumber : Koran Tempo, 16 Februari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita rembug bersama, agar kesenian reog lebih berkwalitas dan berkembang, tetapi jika ngobrol tanpa ada ACTION sama halnya BO'ONG, maka setelah kita ngbrol sambil NGOPI kita TATA gamelan dan langsung kita REOGAN.....