KALAU akhirnya grup reog Kabupaten Wonogiri, yang tampil ke festival reog nasional 2004 di Alun-alun Ponorogo Jatim, meraih juara II nasional, berarti itu memiliki keunggulan dalam tiga hal. Yakni wirogo (gerak tari), wiromo (iringan musik) dan wiroso (rasa penjiwaan).
''Sebab, ketiga aspek itulah yang dijadikan pedoman dalam menilai lomba reog,'' kata Kasub Dinas Pariwisata Sentot Sujarwoko SH.
Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan Pariwisata Seni Budaya (DPPSB) Wonogiri Hendro Purbandoro SH MM didampingi YMT Kabag Humas Pemkab Wonogiri, Drs Mulyanto, mengatakan, lomba reog nasional itu diikuti oleh 41 group reog. Berlangsung bersamaan dengan tradisi garebeg Sura 1937 Tahun Wawu atau Muharam 1425 H dan peringatan hari jadi ke-508 Kabupaten Ponorogo.
Pesertanya, terdiri atas empat grup reog dari luar Jawa, 24 grup reog lokal Ponorogo, dan 13 goup dari luar Ponorogo. Keluar sebagai juara I, II dan III adalah reog Gajah Manggala (Ponorogo), Pemkab Wonogiri (Jateng), dan Singo Mangku Joyo (Surabaya). Juara harapan I, II dan III, Simo Barong Utomo (Universitas Muhamadiyah Ponorogo), PSRM Sardulo Anurogo (Universitas Jember), dan Gogor Benua Etam (Kutai Kalimantan Timur). Grup lain yang masuk 10 besar adalah grup reog Wijoyo Kusumo (Kuala Tungkal Jambi Sumatera), Barong Samudro (Petro Kimia Gresik), Singo Mulang Joyo (Metro Lampung), dan reog Pemkab Jakarta Timur (DKI Jakarta).
''Tahun lalu, Wonogiri meraih gelar juara pertama. Saat itu diwakili oleh grup reog Singo Giri,'' kata Sentot. Tapi Singo Giri tahun ini tak dapat diturunkan untuk mempertahankan gelar kejuaraannya, karena personel intinya banyak yang pergi. Seperti warok pembarong (pemain dadak merak) Darno hijrah ke Lampung. Padahal, Darno --sebagaimana juga warok pembarong Senen-- terhitung sebagai warok pembarong andalan Wonogiri. Dengan mengandalkan kemahirannya memainkan Dadak Merak, Darno pernah dibawa muhibah untuk "ngreog" ke berbagai kota di Amerika oleh tim kesenian nasional Sadupi pimpinan Begug Poernomosidi SH, selagi dia belum menjadi Bupati Wonogiri. Kemudian warok Senen, pernah menjadi tenaga pengajar reog di Suriname.
Digantikan
Maju ke lomba tingkat nasional di Ponorogo 2004, posisi dua warok pembarong Darno-Senen digantikan oleh duet warok Muji dan Dimun. Kemudian, peraga Prabu Klonosewandono dipercayakan pada Aris Martono SSn. Duet penari Patih Bujangganong, yang banyak menampilkan gerak-gerak atraktif akrobatik jungkir balik, dibawakan Mulyanto dan Dwi; keduanya masih berstatus pelajar SMK Wonogiri. Sebagaimana para pemeran baku itu, para penari jathil massal dan dua warok sepuh serta 10 warok muda, dimainkan oleh seniman-seniwati dari sanggar Darma Giri Budaya asuhan seniman Ludiro Pancoko SSn dari Pokoh Kelurahan Wonoboyo, Kecamatan Wonogiri Kota.
Panggung permanen lomba reog nasional yang dibangun di Alun-alun Kabupaten Ponorogo, sering membuat sikap tidak bersahabat bagi warok yang akan tampil memamerkan kebolehannya. Acap kali ada gangguan yang sifatnya datang mendadak, yang dapat mengacaukan konsentrasi pemain. Seperti tiba-tiba muncul angin besar yang tanpa diduga, sehingga menyulitkan warok pembarong menyajikan gerak indah tarian Dadak Merak.
Gangguan angin, apabila dipaksa untuk dilawan, dapat berakibat fatal, mematahkan tulang leher warok pembarong. ''Gangguan angin yang datang mendadak, itu dapat disebabkan oleh ulah paeka (perbuatan magis) dari sesama grup reog yang akan tampil untuk memenangkan kejuaraan. Karena itu. ketika telah berani tampil ngreog di Ponorogo, sebaiknya jangan hanya lawaran (tak menyertakan upaya magis),'' kata warok Djoko Duweh dari Kecamatan Jatisrono Wonogiri. (Bambang Pur-41)
''Sebab, ketiga aspek itulah yang dijadikan pedoman dalam menilai lomba reog,'' kata Kasub Dinas Pariwisata Sentot Sujarwoko SH.
Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan Pariwisata Seni Budaya (DPPSB) Wonogiri Hendro Purbandoro SH MM didampingi YMT Kabag Humas Pemkab Wonogiri, Drs Mulyanto, mengatakan, lomba reog nasional itu diikuti oleh 41 group reog. Berlangsung bersamaan dengan tradisi garebeg Sura 1937 Tahun Wawu atau Muharam 1425 H dan peringatan hari jadi ke-508 Kabupaten Ponorogo.
Pesertanya, terdiri atas empat grup reog dari luar Jawa, 24 grup reog lokal Ponorogo, dan 13 goup dari luar Ponorogo. Keluar sebagai juara I, II dan III adalah reog Gajah Manggala (Ponorogo), Pemkab Wonogiri (Jateng), dan Singo Mangku Joyo (Surabaya). Juara harapan I, II dan III, Simo Barong Utomo (Universitas Muhamadiyah Ponorogo), PSRM Sardulo Anurogo (Universitas Jember), dan Gogor Benua Etam (Kutai Kalimantan Timur). Grup lain yang masuk 10 besar adalah grup reog Wijoyo Kusumo (Kuala Tungkal Jambi Sumatera), Barong Samudro (Petro Kimia Gresik), Singo Mulang Joyo (Metro Lampung), dan reog Pemkab Jakarta Timur (DKI Jakarta).
''Tahun lalu, Wonogiri meraih gelar juara pertama. Saat itu diwakili oleh grup reog Singo Giri,'' kata Sentot. Tapi Singo Giri tahun ini tak dapat diturunkan untuk mempertahankan gelar kejuaraannya, karena personel intinya banyak yang pergi. Seperti warok pembarong (pemain dadak merak) Darno hijrah ke Lampung. Padahal, Darno --sebagaimana juga warok pembarong Senen-- terhitung sebagai warok pembarong andalan Wonogiri. Dengan mengandalkan kemahirannya memainkan Dadak Merak, Darno pernah dibawa muhibah untuk "ngreog" ke berbagai kota di Amerika oleh tim kesenian nasional Sadupi pimpinan Begug Poernomosidi SH, selagi dia belum menjadi Bupati Wonogiri. Kemudian warok Senen, pernah menjadi tenaga pengajar reog di Suriname.
Digantikan
Maju ke lomba tingkat nasional di Ponorogo 2004, posisi dua warok pembarong Darno-Senen digantikan oleh duet warok Muji dan Dimun. Kemudian, peraga Prabu Klonosewandono dipercayakan pada Aris Martono SSn. Duet penari Patih Bujangganong, yang banyak menampilkan gerak-gerak atraktif akrobatik jungkir balik, dibawakan Mulyanto dan Dwi; keduanya masih berstatus pelajar SMK Wonogiri. Sebagaimana para pemeran baku itu, para penari jathil massal dan dua warok sepuh serta 10 warok muda, dimainkan oleh seniman-seniwati dari sanggar Darma Giri Budaya asuhan seniman Ludiro Pancoko SSn dari Pokoh Kelurahan Wonoboyo, Kecamatan Wonogiri Kota.
Panggung permanen lomba reog nasional yang dibangun di Alun-alun Kabupaten Ponorogo, sering membuat sikap tidak bersahabat bagi warok yang akan tampil memamerkan kebolehannya. Acap kali ada gangguan yang sifatnya datang mendadak, yang dapat mengacaukan konsentrasi pemain. Seperti tiba-tiba muncul angin besar yang tanpa diduga, sehingga menyulitkan warok pembarong menyajikan gerak indah tarian Dadak Merak.
Gangguan angin, apabila dipaksa untuk dilawan, dapat berakibat fatal, mematahkan tulang leher warok pembarong. ''Gangguan angin yang datang mendadak, itu dapat disebabkan oleh ulah paeka (perbuatan magis) dari sesama grup reog yang akan tampil untuk memenangkan kejuaraan. Karena itu. ketika telah berani tampil ngreog di Ponorogo, sebaiknya jangan hanya lawaran (tak menyertakan upaya magis),'' kata warok Djoko Duweh dari Kecamatan Jatisrono Wonogiri. (Bambang Pur-41)
Suara Merdeka, 27 Maret 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita rembug bersama, agar kesenian reog lebih berkwalitas dan berkembang, tetapi jika ngobrol tanpa ada ACTION sama halnya BO'ONG, maka setelah kita ngbrol sambil NGOPI kita TATA gamelan dan langsung kita REOGAN.....