Bicara reyog identik dengan Ponorogo. Reyog Ponorogo sebagai kesenian tradisional, penuh dengan nilai-nilai historis dan legendaris yang tumbuh dan berkembang sejak dahulu hingga sekarang bukan saja menjadi kebanggaan daerah melainkan menjadi kebanggaan nasional. Penyajian dan penampilan kesenian reyog Ponorogo dengan tampilan yang penuh unsur batiniah dan lahiriah menjadi perpaduan yang serasi dan seimbang, tetap hidup dan berkembang dikalangan masyarakat Ponorogo.
Asal usul reog Ponorogo yang semula disebut ìbaronganî sebagai satire (sindiran) dari ki Ageng Kutu Suryongalam terhadap raja Majapahit Prabu Brawijaya V (Bhre kertabumi). Terwujudnya barongan merupakan sindiran bagi raja yang sedang berkuasa yang belum melaksanakan tugas-tugas kerajaan secara tertib, adil dan memadai. Sebab kekuasaan raja-raja dikuasai atau dipengaruhi bahkan, dikendalikan oleh permaisurinya. Budaya rikuh pakewuh sangat kuat di benak masyarakat untuk mengingatkan atasannya. Oleh karena itu, metode sindiran (satire) merupakan salah satu cara untuk mengingatkan atasanya secara halus.
Ki Ageng Suryongalam menyadari bahwa, sebagai bawahan tidak dapat berbuat banyak. Maka, alternatif lain yang ditempuh terpaksa memperkuat dirinya dengan pasukan perang yang terlatih, berikut para waroknya dengan berbagai ilmu kanuragan. Berawal dari cerita inilah asal-usul reog Ponorogo dalam wujud seperangkat merak dan jatilan sebagai manifestasi sindiran kepada Raja Majapahit, yang dalam menjalankan roda pemerintahan dipengaruhi oleh permaisurinya. Raja dikiaskan sebagai harimau yang ditunggangi oleh merak sebagai lambang permaisurinya.
Pada masa kekuasaan Batoro Katong, oleh Ki Ageng Mirah (pendamping setia Batoro Katong) dipandang perlu tetap melestarikan barongan tersebut sebagai alat pemersatu dan pengumpul masa yang efektif, sekaligus sebagai media informasi dan komunikasi langsung dengan masyarakat. Dengan daya cipta dan rekayasa yang tepat, Ki Ageng Mirah membuat cerita legendaris, yaitu terciptanya kerajaan Bantarangin dengan rajanya Klana Sewandana yang sedang kasmaran. Hasil daya cipta Ki Ageng Mirah ini berkembang di masyarakat Ponorogo, bahkan diyakini bahwa cerita itu adalah benar-benar terjadi.
Keberhasilan Batoro Katong dalam mengamankan wilayah Kerajaan Majapahit, khususnya wilayah Kadipaten Ponorogo, dan berhasil pula menyiarkan agama Islam secara damai, maka dalam dadak merak ditambah suatu tetengger dengan seuntai merjan (tasbih) diujung paruh burung merak. Sedangkan, lambang ular yang sudah ada tetap utuh terpelihara. Perkembangan reog yang semakin digemari oleh masyarakat bagian wilayah kerajaan Majapahit, khususnya di Ponorogo, tumbuh dan berkembang di mana-mana lengkap dengan warok dan gemblaknya.
Surutnya reog Ponorogo dalam pentas seni terasa pada masa pendudukan Belanda dan Jepang. Hal ini dipahami karena seringnya berkumpul akan mengundang kecurigaan pemerintahan penjajahan dan akhirnya dilarang sama sekali.
Kemunculannya kembali setelah Indonesia merdeka 17 agustus 1945, namun sangat disayangkan karena dijadikan alat bagi organisasi politik pada masa itu. Akhirnya, munculah beberapa perkumpulan reog Ponorogo seperti : BREN (Barisan Reog Nasional), CAKRA (Cabang Kesenian Reog Agama), BRP (Barisan Reog Ponorogo), KRIS (Kesenian Reog Islam) dan sebagainya. Untuk membendung Reog PKI pada saat itu, muncullah kesenian gajah-gajahan dan unta-untaan yang kesemuanya itu terjadi masa puncak kejayaan NASAKOM di mana PKI mendominasi seni ini dengan barisan reog Ponorogonya. Setelah PKI dilarang dan dibubarkan baru kesenian reog Ponorogo mulai dibina secara utuh dan terarah serta terencana dengan baik oleh pemerintahan orde baru.
Pemerintahan Kabupaten Ponorogo mempunyai komitmen tinggi untuk melestarikan kesenian Reog. terbukti setiap akhir bulan Dzulhijah atau menjelang 1 Muharram (tahun baru hijriah) di Ponorogo selalu diadakan Festival Reog Nasional. Peserta festival berasal dari grup kesenian reog dari seluruh penjuru tanah air seperti Jambi, Bengkulu, Lampung, Jakarta, Kalimantan Timur, Jember, Batu/Malang, Wonogiri dan dari Ponorogo sendiri. Peserta dari Ponorogo berasal dari grup di seluruh kecamatan yang diwajibkan mengirimkan delegasi, sekolah-sekolah (tingkat SMA), dan Perguruan Tinggi.
Salah satu delegasi dari Perguruan Tinggi yang rutin mengikuti Festifal Reyog adalah Grup Reog dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) SIMO BUDI UTOMO Universitas Muhammadiyah Ponorogo. UKM ini lahir tahun 2003 yang dipelopori oleh sekelompok mahasiswa yang punya kecintaan dan skill dibidang seni reog sekaligus sebagai bentuk partisipasi dalam peringatan Grebeg Suro (1 Muharram). Personal grup ini sepenuhnya berasal dari mahasiswa, mulai dari warok 10 orang (dimainkan oleh mahasiswa laki-laki), penari jathil (pasukan berkuda) 12 orang (dimainkan oleh mahasiswa perempuan), penari raja Klono Sewandono (dimainkan 1 orang laki-laki), penari Pujangganong (biasanya dimainkan 2 orang mahasiswa laki-laki), dan pemain barongan/memainkan barongan atau merak biasanya 2 orang laki-laki.
Mulai tahun 2003-2006, UKM ini berturut-turut meraih urutan ke 4 penyaji terbaik, tahun 2007 meraih urutan ke 2 penyaji terbaik. Selain rutin mengikuti festival nasional UKM Reog SIMO BUDI UTOMO pernah tampil di Muktamar Muhammadiyah di Malang tahun 2005, MUSWIL Muhammadiyah Jawa Timur di Madiun Tahun 2006, Gebyar Seni Nusantara 2007 di Institut Pertanian Bogor.
UKM Reog SIMO BUDI UTOMO mempunyai visi untuk pelestarian budaya tradisional khususnya di kalangan mahasiswa/pemuda, mengembangkan bakat dan minat di kalangan mahasiswa/pemuda, dan sebagai sarana dakwah melalui nilai-nilai seni yang ditampilkan
Asal usul reog Ponorogo yang semula disebut ìbaronganî sebagai satire (sindiran) dari ki Ageng Kutu Suryongalam terhadap raja Majapahit Prabu Brawijaya V (Bhre kertabumi). Terwujudnya barongan merupakan sindiran bagi raja yang sedang berkuasa yang belum melaksanakan tugas-tugas kerajaan secara tertib, adil dan memadai. Sebab kekuasaan raja-raja dikuasai atau dipengaruhi bahkan, dikendalikan oleh permaisurinya. Budaya rikuh pakewuh sangat kuat di benak masyarakat untuk mengingatkan atasannya. Oleh karena itu, metode sindiran (satire) merupakan salah satu cara untuk mengingatkan atasanya secara halus.
Ki Ageng Suryongalam menyadari bahwa, sebagai bawahan tidak dapat berbuat banyak. Maka, alternatif lain yang ditempuh terpaksa memperkuat dirinya dengan pasukan perang yang terlatih, berikut para waroknya dengan berbagai ilmu kanuragan. Berawal dari cerita inilah asal-usul reog Ponorogo dalam wujud seperangkat merak dan jatilan sebagai manifestasi sindiran kepada Raja Majapahit, yang dalam menjalankan roda pemerintahan dipengaruhi oleh permaisurinya. Raja dikiaskan sebagai harimau yang ditunggangi oleh merak sebagai lambang permaisurinya.
Pada masa kekuasaan Batoro Katong, oleh Ki Ageng Mirah (pendamping setia Batoro Katong) dipandang perlu tetap melestarikan barongan tersebut sebagai alat pemersatu dan pengumpul masa yang efektif, sekaligus sebagai media informasi dan komunikasi langsung dengan masyarakat. Dengan daya cipta dan rekayasa yang tepat, Ki Ageng Mirah membuat cerita legendaris, yaitu terciptanya kerajaan Bantarangin dengan rajanya Klana Sewandana yang sedang kasmaran. Hasil daya cipta Ki Ageng Mirah ini berkembang di masyarakat Ponorogo, bahkan diyakini bahwa cerita itu adalah benar-benar terjadi.
Keberhasilan Batoro Katong dalam mengamankan wilayah Kerajaan Majapahit, khususnya wilayah Kadipaten Ponorogo, dan berhasil pula menyiarkan agama Islam secara damai, maka dalam dadak merak ditambah suatu tetengger dengan seuntai merjan (tasbih) diujung paruh burung merak. Sedangkan, lambang ular yang sudah ada tetap utuh terpelihara. Perkembangan reog yang semakin digemari oleh masyarakat bagian wilayah kerajaan Majapahit, khususnya di Ponorogo, tumbuh dan berkembang di mana-mana lengkap dengan warok dan gemblaknya.
Surutnya reog Ponorogo dalam pentas seni terasa pada masa pendudukan Belanda dan Jepang. Hal ini dipahami karena seringnya berkumpul akan mengundang kecurigaan pemerintahan penjajahan dan akhirnya dilarang sama sekali.
Kemunculannya kembali setelah Indonesia merdeka 17 agustus 1945, namun sangat disayangkan karena dijadikan alat bagi organisasi politik pada masa itu. Akhirnya, munculah beberapa perkumpulan reog Ponorogo seperti : BREN (Barisan Reog Nasional), CAKRA (Cabang Kesenian Reog Agama), BRP (Barisan Reog Ponorogo), KRIS (Kesenian Reog Islam) dan sebagainya. Untuk membendung Reog PKI pada saat itu, muncullah kesenian gajah-gajahan dan unta-untaan yang kesemuanya itu terjadi masa puncak kejayaan NASAKOM di mana PKI mendominasi seni ini dengan barisan reog Ponorogonya. Setelah PKI dilarang dan dibubarkan baru kesenian reog Ponorogo mulai dibina secara utuh dan terarah serta terencana dengan baik oleh pemerintahan orde baru.
Pemerintahan Kabupaten Ponorogo mempunyai komitmen tinggi untuk melestarikan kesenian Reog. terbukti setiap akhir bulan Dzulhijah atau menjelang 1 Muharram (tahun baru hijriah) di Ponorogo selalu diadakan Festival Reog Nasional. Peserta festival berasal dari grup kesenian reog dari seluruh penjuru tanah air seperti Jambi, Bengkulu, Lampung, Jakarta, Kalimantan Timur, Jember, Batu/Malang, Wonogiri dan dari Ponorogo sendiri. Peserta dari Ponorogo berasal dari grup di seluruh kecamatan yang diwajibkan mengirimkan delegasi, sekolah-sekolah (tingkat SMA), dan Perguruan Tinggi.
Salah satu delegasi dari Perguruan Tinggi yang rutin mengikuti Festifal Reyog adalah Grup Reog dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) SIMO BUDI UTOMO Universitas Muhammadiyah Ponorogo. UKM ini lahir tahun 2003 yang dipelopori oleh sekelompok mahasiswa yang punya kecintaan dan skill dibidang seni reog sekaligus sebagai bentuk partisipasi dalam peringatan Grebeg Suro (1 Muharram). Personal grup ini sepenuhnya berasal dari mahasiswa, mulai dari warok 10 orang (dimainkan oleh mahasiswa laki-laki), penari jathil (pasukan berkuda) 12 orang (dimainkan oleh mahasiswa perempuan), penari raja Klono Sewandono (dimainkan 1 orang laki-laki), penari Pujangganong (biasanya dimainkan 2 orang mahasiswa laki-laki), dan pemain barongan/memainkan barongan atau merak biasanya 2 orang laki-laki.
Mulai tahun 2003-2006, UKM ini berturut-turut meraih urutan ke 4 penyaji terbaik, tahun 2007 meraih urutan ke 2 penyaji terbaik. Selain rutin mengikuti festival nasional UKM Reog SIMO BUDI UTOMO pernah tampil di Muktamar Muhammadiyah di Malang tahun 2005, MUSWIL Muhammadiyah Jawa Timur di Madiun Tahun 2006, Gebyar Seni Nusantara 2007 di Institut Pertanian Bogor.
UKM Reog SIMO BUDI UTOMO mempunyai visi untuk pelestarian budaya tradisional khususnya di kalangan mahasiswa/pemuda, mengembangkan bakat dan minat di kalangan mahasiswa/pemuda, dan sebagai sarana dakwah melalui nilai-nilai seni yang ditampilkan
kabar PTM, 29 Feb 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita rembug bersama, agar kesenian reog lebih berkwalitas dan berkembang, tetapi jika ngobrol tanpa ada ACTION sama halnya BO'ONG, maka setelah kita ngbrol sambil NGOPI kita TATA gamelan dan langsung kita REOGAN.....