Sepanjang sejarahnya, di mana pun kepala Reog Ponorogo pasti berbentuk kepala Singa atau Macan dan berbulu Merak. Ini melambangkan pendirinya yang berwajah seram layaknya singa, galak tapi berwibawa dan bijaksana, sesuai dengan namanya Singo Taruno (Singa Muda) yang berwatak lembah manah (rendah hati)
yudhi
SEBAGAI mantan “warok” yang pernah 19 tahun memimpin Paguyuban Reog Ponorogo “Singo Prenggolo” di Jakarta antara tahun 1962-1981, dalam hati saya tertawa bercampur geli mendengar klim orang Malaysia yang mengklim reog yang kini sedang tumbuh subur di negaranya adalah warisan budaya nenek moyang mereka.
Tapi mereka tidak menyebutkan secara runut asal-usul kesenian itu, sejak tahun berapa didirikan, siapa pendirinya, berasal daerah mana dan berapa jumlah “crew” reog itu sendiri.
Di Indonesia, reog pertama kali didirikan di daerah pesisir Banyuwangi pada tahun 1726 oleh mBah Singo Taruno, seorang pendekar yang memiliki kesaktian alami. Tidak ada yang mengetahui secara pasti, kapan dan di mana mBah Singo Taruno mengasah ilmu kanuragan (kesaktian) nya. Dalam buku sejarah “Reog Ponorogo Dalam Perjalanannya Hingga Sekarang” terbitan tahun 1986 yang disusun (kala itu) oleh Ketua Umum Paguyuban Seni Budaya Reog Ponorogo Seluruh Indonesia, Drs Begug Purnomosidi (kini Bupati Wonogiri), mBah Singo Taruno disebutkan bahwa almarhum di lahirkan di Glemor, Kecamatam Benculuk, Kabupaten Banyuwangi, sebuah desa kecil yang terletak di daerah pesisir ujung paling timur Pulau Jawa tahun 1706.
Ia adalah anak tunggal putra pendalungan (keturunan - bapaknya putra Madura asli yang memiliki kesaktian alami yang luar biasa) dan ibunya putri Banyuwangi tulen). Ia meninggal dunia pada tahun 1824 di usia 98 tahun dan dimakamkan di desa Sumoroto, Kabupaten Ponorogo.
Di usianya yang masih remaja, 18 tahun, Singo Taruno melanglangbuana hingga akhirnya “terdampar” di Ponorogo. Di tempat inilah Singo Taruno muda belajar menggeluti dunia seni reog pada RM Djajapoernama, seorang guru seni dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta). Ketika itu ia belum menyadari bahwa di dalam dirinya mengalir darah kasekten (kesaktian) titisan dari almarhum ayahnya.
Di saat berguru itulah di’ tengah tidurnya ia menerima wangsit yang membisikkan bahwa ia ditetesi ilmu kanuragan (kesaktian) yang tidak dimiliki oleh orang lain dan harus dimanfaatkan untuk masyarakat. Syaratnya, ia seumur hidup tidak boleh manikah dengan perempuan. Setelah hampir dua tahun berguru, pada tahun 1726 Singo Taruno kemudian kembali ke Ponorogo lalu mendirikan paguyuban seni yang dinamakan Reog Ponorogo.
Singo Taruno yang sangat berwibawa dan berwajah “menakutkan” tapi, lembah manah (rendah hati) penyabar dan kaya akan petuah, oleh masyarakat kemudian diangkat sebagai Warok. Warok berasal dari kata wewarah (nasehat). Artinya, wong kang sugih wewarah (orang yang kaya akan nasehat).
Karena wangsit yang diterima Singo Taruno itulah sejarahnya mengapa dulunya awak Reog Ponorogo seperti ganongan, jathilan dan gemblak sebagai penarinya semuanya terdiri dari laki-laki muda belia dan ganteng. Dan gemblak itu pulalah yang kemudian oleh Singo Taruno dijadikan sebagai “istri” (istilah sekarang homosex) untuk penyaluran hasrat biologisnya.
Berbentuk Kepala Singa
Dalam perjalanan sejarahnya, sekarang tak ada lagi warok yang menggunakan gemblak sebagai selir (istri). Warok sekarang sudah hidup wajar, tetap beranak pinak seperti lazimnya manusia normal.
Di seluruh Indonesia saat ini ada 92 Puguyuban Seni Budaya Reog Ponorogo, 31 di antaranya ada di Jakarta dan satu grup di luar negeri, yaitu di Suriname. Reog di Negara bekas jajahan Perancis itu saya dirikan bersama mBah Kasni Gunopati atau yang lebih akrab dipanggil mBahWo (kamituwo-sesepuh) Kuching satu diantara dua warok sejati yang masih ada di Indonesia dan penyanyi langgam Jawa, Waldjinah ketika kami diundang ke sana tahun 1983.
Sedang yang bertindak sebagai “warok” (pimpinan) nya adalah George Kusumo. Ia adalah orang Jawa generasi ke lima yang bermukim di sana. “Warok” yang kini sudah berusia 74 tahun ini hanya bisa berbahasa Inggris, Perancis, Belanda dan Bahasa Jawa krama inggil (bahasa Jawa ngoko (kasar tapi halus). Ketika saya ajak bicara bahasa Indonesia, kala itu ia hanya bisa menjawab halus: “Kowe ki sejatine omong apa ta Mas?” (kamu ini sebenarnya omong apa sih Mas ?).
Sepanjang sejarahnya, di mana pun kepala Reog Ponorogo pasti berbentuk kepala Singa atau Macan dan berbulu Merak. Ini melambangkan pendirinya yang berwajah seram layaknya singa, galak tapi berwibawa dan bijaksana, sesuai dengan namanya Singo Taruno (Singa Muda) yang berwatak lembah manah (rendah hati). Dan hampir 95 persen Paguyuban Seni Reog di mana pun berada, nama depanya hampir dapat dipastikan
menggunakan nama “Singo”. Paguyuban Seni Budaya Reog tertua di Indonesia sekarang ini ada di Desa Sumoroto, Ponorogo, namanya “Singo Menggolo”. Paguyuban ini masih tetap dipandegani (ditangani) oleh guru saya, Warok mBah Wo Kucing (Kasni Gunopati), 89 tahun.
Dari sembilan orang anaknya, tak seorang pun yang mampu menerima warisan ilmu dari mBah Wo Kucing. Sedang pakaian hitam, kaos belang hitam putih, kolor (ikat pinggang) dari rajutan benang wama putih, pecut (cemeti), sabuk othok (ikat pinggang lebar dari kulit asli) dan udheng (ikat kepala) khas reog yang sudah berusia sekitar puluhan tahun, sejak tahun tahun 1962 silam justru diserahkan saya yang dianggap sebagai wasiat bagi generasi penerus.
Dia berharap saya bisa melanjutkan kelestarian Paguyuban Seni Budaya Reog Ponorogo di Negara ini termasuk yang ada di Suriname. Tapi saya tidak ‘tahu’ kepada siapa warisan itu nanti akan saya serahkan.
Paguyuban Reog “Singo Budoyo” yang pernah 19 tahun saya pimpin, kini ibaratkan hidup segan mati tak mau. Pimpinan nya pun sudah beberapa kali berganti. Di sini saya bertanya, benarkah Reog yang nota bene didirikan pertama kali di Indonesia tahun 1726 itu adalah warisan budaya asli peninggal’dn dari nenek moyang orang Malaysia? Kalau memang benar reog itu merupakan warisan budaya peninggalan nenek moyang mereka, mengapa kemunculannya di permukaan baru sebulan yang lalu? (*)
yudhi
SEBAGAI mantan “warok” yang pernah 19 tahun memimpin Paguyuban Reog Ponorogo “Singo Prenggolo” di Jakarta antara tahun 1962-1981, dalam hati saya tertawa bercampur geli mendengar klim orang Malaysia yang mengklim reog yang kini sedang tumbuh subur di negaranya adalah warisan budaya nenek moyang mereka.
Tapi mereka tidak menyebutkan secara runut asal-usul kesenian itu, sejak tahun berapa didirikan, siapa pendirinya, berasal daerah mana dan berapa jumlah “crew” reog itu sendiri.
Di Indonesia, reog pertama kali didirikan di daerah pesisir Banyuwangi pada tahun 1726 oleh mBah Singo Taruno, seorang pendekar yang memiliki kesaktian alami. Tidak ada yang mengetahui secara pasti, kapan dan di mana mBah Singo Taruno mengasah ilmu kanuragan (kesaktian) nya. Dalam buku sejarah “Reog Ponorogo Dalam Perjalanannya Hingga Sekarang” terbitan tahun 1986 yang disusun (kala itu) oleh Ketua Umum Paguyuban Seni Budaya Reog Ponorogo Seluruh Indonesia, Drs Begug Purnomosidi (kini Bupati Wonogiri), mBah Singo Taruno disebutkan bahwa almarhum di lahirkan di Glemor, Kecamatam Benculuk, Kabupaten Banyuwangi, sebuah desa kecil yang terletak di daerah pesisir ujung paling timur Pulau Jawa tahun 1706.
Ia adalah anak tunggal putra pendalungan (keturunan - bapaknya putra Madura asli yang memiliki kesaktian alami yang luar biasa) dan ibunya putri Banyuwangi tulen). Ia meninggal dunia pada tahun 1824 di usia 98 tahun dan dimakamkan di desa Sumoroto, Kabupaten Ponorogo.
Di usianya yang masih remaja, 18 tahun, Singo Taruno melanglangbuana hingga akhirnya “terdampar” di Ponorogo. Di tempat inilah Singo Taruno muda belajar menggeluti dunia seni reog pada RM Djajapoernama, seorang guru seni dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta). Ketika itu ia belum menyadari bahwa di dalam dirinya mengalir darah kasekten (kesaktian) titisan dari almarhum ayahnya.
Di saat berguru itulah di’ tengah tidurnya ia menerima wangsit yang membisikkan bahwa ia ditetesi ilmu kanuragan (kesaktian) yang tidak dimiliki oleh orang lain dan harus dimanfaatkan untuk masyarakat. Syaratnya, ia seumur hidup tidak boleh manikah dengan perempuan. Setelah hampir dua tahun berguru, pada tahun 1726 Singo Taruno kemudian kembali ke Ponorogo lalu mendirikan paguyuban seni yang dinamakan Reog Ponorogo.
Singo Taruno yang sangat berwibawa dan berwajah “menakutkan” tapi, lembah manah (rendah hati) penyabar dan kaya akan petuah, oleh masyarakat kemudian diangkat sebagai Warok. Warok berasal dari kata wewarah (nasehat). Artinya, wong kang sugih wewarah (orang yang kaya akan nasehat).
Karena wangsit yang diterima Singo Taruno itulah sejarahnya mengapa dulunya awak Reog Ponorogo seperti ganongan, jathilan dan gemblak sebagai penarinya semuanya terdiri dari laki-laki muda belia dan ganteng. Dan gemblak itu pulalah yang kemudian oleh Singo Taruno dijadikan sebagai “istri” (istilah sekarang homosex) untuk penyaluran hasrat biologisnya.
Berbentuk Kepala Singa
Dalam perjalanan sejarahnya, sekarang tak ada lagi warok yang menggunakan gemblak sebagai selir (istri). Warok sekarang sudah hidup wajar, tetap beranak pinak seperti lazimnya manusia normal.
Di seluruh Indonesia saat ini ada 92 Puguyuban Seni Budaya Reog Ponorogo, 31 di antaranya ada di Jakarta dan satu grup di luar negeri, yaitu di Suriname. Reog di Negara bekas jajahan Perancis itu saya dirikan bersama mBah Kasni Gunopati atau yang lebih akrab dipanggil mBahWo (kamituwo-sesepuh) Kuching satu diantara dua warok sejati yang masih ada di Indonesia dan penyanyi langgam Jawa, Waldjinah ketika kami diundang ke sana tahun 1983.
Sedang yang bertindak sebagai “warok” (pimpinan) nya adalah George Kusumo. Ia adalah orang Jawa generasi ke lima yang bermukim di sana. “Warok” yang kini sudah berusia 74 tahun ini hanya bisa berbahasa Inggris, Perancis, Belanda dan Bahasa Jawa krama inggil (bahasa Jawa ngoko (kasar tapi halus). Ketika saya ajak bicara bahasa Indonesia, kala itu ia hanya bisa menjawab halus: “Kowe ki sejatine omong apa ta Mas?” (kamu ini sebenarnya omong apa sih Mas ?).
Sepanjang sejarahnya, di mana pun kepala Reog Ponorogo pasti berbentuk kepala Singa atau Macan dan berbulu Merak. Ini melambangkan pendirinya yang berwajah seram layaknya singa, galak tapi berwibawa dan bijaksana, sesuai dengan namanya Singo Taruno (Singa Muda) yang berwatak lembah manah (rendah hati). Dan hampir 95 persen Paguyuban Seni Reog di mana pun berada, nama depanya hampir dapat dipastikan
menggunakan nama “Singo”. Paguyuban Seni Budaya Reog tertua di Indonesia sekarang ini ada di Desa Sumoroto, Ponorogo, namanya “Singo Menggolo”. Paguyuban ini masih tetap dipandegani (ditangani) oleh guru saya, Warok mBah Wo Kucing (Kasni Gunopati), 89 tahun.
Dari sembilan orang anaknya, tak seorang pun yang mampu menerima warisan ilmu dari mBah Wo Kucing. Sedang pakaian hitam, kaos belang hitam putih, kolor (ikat pinggang) dari rajutan benang wama putih, pecut (cemeti), sabuk othok (ikat pinggang lebar dari kulit asli) dan udheng (ikat kepala) khas reog yang sudah berusia sekitar puluhan tahun, sejak tahun tahun 1962 silam justru diserahkan saya yang dianggap sebagai wasiat bagi generasi penerus.
Dia berharap saya bisa melanjutkan kelestarian Paguyuban Seni Budaya Reog Ponorogo di Negara ini termasuk yang ada di Suriname. Tapi saya tidak ‘tahu’ kepada siapa warisan itu nanti akan saya serahkan.
Paguyuban Reog “Singo Budoyo” yang pernah 19 tahun saya pimpin, kini ibaratkan hidup segan mati tak mau. Pimpinan nya pun sudah beberapa kali berganti. Di sini saya bertanya, benarkah Reog yang nota bene didirikan pertama kali di Indonesia tahun 1726 itu adalah warisan budaya asli peninggal’dn dari nenek moyang orang Malaysia? Kalau memang benar reog itu merupakan warisan budaya peninggalan nenek moyang mereka, mengapa kemunculannya di permukaan baru sebulan yang lalu? (*)
DJ. Pamoedji, 11 Des 2007
(* Penulis Adalah Mantan “Warok” Reog “Singo Budoyo”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita rembug bersama, agar kesenian reog lebih berkwalitas dan berkembang, tetapi jika ngobrol tanpa ada ACTION sama halnya BO'ONG, maka setelah kita ngbrol sambil NGOPI kita TATA gamelan dan langsung kita REOGAN.....