• Dijamu Bush tapi Dicueki Bupati, Anwar Saleh, Peniup Suling Reog Ponorogo yang Mendunia


    PIAWAI - Anwar Saleh (67) menunjukkan kepiawaiannya memainkan suling reog di rumahnya di Ponorogo, Minggu (26/6). Foto: surya/sudarmawan

    Anwar Saleh bukan orang sembarangan. Kepiawaiannya meniup suling reog telah membawanya ke Gedung Putih, Kantor Presiden Amerika Serikat. Namun penghormatan presiden Amerika itu tidak otomatis membuat nasibnya lebih baik di negeri sendiri.

    Sudaramawan
    Ponorogo

    Sehari-hari Anwar Saleh tinggal di rumahnya yang sederhana di Jl Anjani RT 03/RW 03 Kelurahan Pakunden, Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo. Di rumah itu pula pria 67 tahun ini menghabiskan hari tuanya. Selain masih mengiringi reog, Anwar memberikan pendidikan reog agar pengikut reog dengan generasi berikutnya tidak putus.

    Selain piawai memainkan suling reog, Saleh juga ahli membuatnya. Kepandaian itu diperolehnya secara otodidak sejak berusia 15 tahun. Namun dengan bertambahnya waktu, keahlian itu semakin terasah. Sampai akhirnya telinga para pengamat seni tradisional di luar negeri menangkap keahliannya itu.

    Ketika ditemui Surya di rumahnya, Minggu (26/6), kakek tiga anak dan dua cucu itu menuturkan, dirinya sudah diundang ke Amerika Serikat, Australia, Jepang dan Suriname. Di sana ia diminta menunjukkan semua keahliannya dan sekaligus mengajarkan kepada pengundang.

    Soal lawatannya ke beberapa negara itu, Saleh mengaku sangat bangga, karena bukan dia yang melamar, tetapi ia diundang untuk datang. “Saya melawat ke beberapa negara itu karena diundang untuk melatih membuat dan melatih meniup terompet serta mengajar tarian reog. Semua biaya dari rumah hingga sampai rumah lagi ditanggung negara yang mengundang. Namun di Ponorogo saya justru, tidak pernah mendapatkan perhatian lebih,” terangnya kepada Surya, Minggu (26/6).

    Yang paling dia ingat adalah ketika ia diundang ke Amerika Serikat pada 1999. Waktu itu, selain ke Hollywood, pusat perfilman Amerika, ia juga diajak ke Gedung Putih. Siapa lagi yang ditemui Saleh saat itu kalau bukan si penghuni gedung, yaitu presiden Amerika Serikat yang waktu itu dijabat George W Bush.

    Di Gedung Putih, Saleh tidak hanya diterima di kantor presiden, tetapi juga diajak menikmati makan bersama. Ia merasa sangat bangga mendapat perhatian dari pemimpin dunia paling berkuasa itu.

    “Saya sendiri heran, orang seperti saya disalami Presiden Bush serta diajak masuk ke ruangannya di Gedung Putih. Begitu juga di negara lainnya, paling tidak perdana menterinya menemui saya dan bertanya banyak tentang reog,” akunya.

    Kebanggaan itu adalah buah kerja keras dan dedikasinya terhadap reog. Sejak mampu main reog di usia 15 tahun, ia sudah berani bergabung dengan kelompok-kelompok reog, sebut saja, Reog Gotong Royong, Reog Sardulo Bhirowo dan Reog Singo Mudo.

    Selain sering mendapatkan undangan dari luar negeri, Saleh juga sering diundang ke TMII Jakarta, Surabaya, Malang serta saat PON XV di Surabaya, diundang untuk menyajikan kepiawainnya dihadapan Kontingen Nasional. “Untuk di dalam negeri saya sudah banyak bermain di kota besar. Namun sekarang kami sudah prihatin melihat permainan reog generasi penerus kami,” paparnya.

    Selama ini, Saleh mengamati Reog Ponorogo, mulai banyak keluar dari pakem sejarahnya. Saleh mencontohkan, joget atau tarian jathilan. Menurutnya, dulu penari jahtil tidak pernah lepas dari kuda lumping yang mereka kempit di antara dua pahanya. Namun sekarang banyak tari jathilan lepas dari kuda lumping.

    “Jathil itu sejarahnya babat alas Ponorogo, menunjukkan prajurit berkuda. Dalam tariannya, penarinya sekarang malah lepas dari kudanya, itu bukan jathil tetapi gambyongan,” urainya.

    Itu hanya salah satu keprihatinan Saleh terhadap seni reog. Ia pun ‘memprotes’ kondisi yang serba instan, misalnya, sudah banyak pelaku reog yang tidak menjaga pakem, misalnya dalam hal gerak dan kostum.

    ”Kami sebagai pelaku sejarah hanya minta sejarah disesuaikan dengan pakemnya. Jangan hanya ingin tenar namun melepas pakem. Jaga keaslian reog dan warok. Terutama saat manggung di panggung utama harus benar-benar dasarnya pakem,” pintanya.

    Hal lain yang paling membuatnya sedih adalah tidak adanya perhatian dari pemerintah. Mengacu dirinya sendiri, Saleh mengatakan, sudah banyak pemerintah asing yang memberinya penghargaan, tetapi pemerintah sendiri tidak acuh terhadapnya.

    Saleh mencontohkan, sebuah piagam penghargaan dari Smithsonian Institution dalam Festival of American Folklife pada 1991. Namun tidak secuil pun penghargaan dari perintah Indonesia, tingkat lokal kabupaten sekalipun.

    “Semua piagam, pin, lencana dan pernghargaan lainya saya terima. Namun di Ponorogo saya mau menonton reog saja disuruh membayar, padahal banyak murid saya mulai dari pembarong, penabuh musik, peniup suling, dan lainnya yang berkiprah di reog hingga sekarang ini. Untuk mengembalikan pakem itu, butuh peran Pemkab Ponorogo yang mau turun tangan menetapkan pakem reog sesuai sejarahnya,” tandasnya.


    www.surya.co.id, 26 Juni 2011


  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Mari kita rembug bersama, agar kesenian reog lebih berkwalitas dan berkembang, tetapi jika ngobrol tanpa ada ACTION sama halnya BO'ONG, maka setelah kita ngbrol sambil NGOPI kita TATA gamelan dan langsung kita REOGAN.....

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

Cari Blog Ini



Free Widgets
Free Counter

Networked Blogs

Visitors

Picture of Reog dance

Facebook

Profil Facebook Bahrudin Khoiri

NeoCounter

Follow me

Max Dien - Find me on Bloggers.com

KELANA