• Ponorogo, Identitas di Tangan Kepentingan


    oleh Bre Redana dan Hariadi Saptono

    Di bawah patung tujuh harimau kumbang, kami menikmati jajanan rujak dan singkong goreng dengan tambahan hati takjub-terkesima. Kami menemukan Alun-alun Kabupaten Ponorogo begitu hidup, semringah, sekilas terkesan begitu menyenangkan warga. Landmark kota berwujud patung tokoh reog itu tersebar di sudut-sudut kota, begitu mencolok pikiran. Apa

    gerangan makna semua ini?

    ”Beginilah Ponorogo, Mas, tidak pernah ada kerusuhan atau perkelahian lagi antaranak muda sekarang ini. Makanya suasananya terus berubah makin baik. Alun-alun ini jadi pasar malam setiap hari sejak beberapa tahun lalu,” kata Ny Umiyani (69) dengan nada syukur dan bangga atas kondisi kotanya. Guru Sekolah Dasar Tonatan I, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, itu tengah duduk bersantai di bawah patung Klono Sewandono dan Tujuh Harimau, serta Dewi Songgolangit di pinggiran Alun-alun Ponorogo. Tukang parkir sepeda motor yang nyambi menjual teh botol menimpali, Ponorogo—khususnya Alun-alun Ponorogo—kian hari kian menyenangkan sebagai tempat bersantai keluarga.

    Saat masuk kota ini dari Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, kami menangkap siaran salah satu radio swasta Ponorogo. Dialog penyiar pria dengan sejumlah penelepon bolak-balik kami bahas: bahasanya unik, tetapi kasar amat ungkapannya, ya. Dan bolak-balik sang penyiar menyapa pendengarnya dengan: ”Warok-warok... sak Ponorogo..., piye kabarmu, Warok...?” dan seterusnya dengan slang, logat, dan ungkapan telak khas Ponorogo.

    Ponorogo memang tidak bisa dipisahkan dari kesenian reog karena reog telah menjadi identitas kultural melalui perjuangan panjang - sebagaimana hasil riset antropolog Lono L Simatupang dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tahun 1992, 1993, dan 1995 adalah tiga tahapan penting, yaitu pembentukan tim khusus pengkajian dan standardisasi format pertunjukan reog; pelaksanaan penataran reog secara massal sehingga dikenal istilah ”Massal 93”; dan untuk pertama kalinya digelar festival reog Ponorogo tingkat nasional tahun 1995.

    Citra dan sejarah
    Reog Ponorogo, yang dikenal bernuansa magis, melibatkan warok (sosok jagoan) - yang digambarkan tinggi besar dengan kumis, jambang, dan sorot mata seram, serta sakti dan kebal senjata - juga tak bisa dihapuskan dari citra dan sejarah Kabupaten Ponorogo. Bahkan, secara licin, pemaknaan reog melompat menjadi semboyan Kabupaten Ponorogo: REOG singkatan dari Resik, Endah, Omber, dan Gilar-gumilar. Itu sebabnya patung Klono Sewandono yang mengendalikan tujuh harimau dan Dewi Songgolangit - perempuan bertubuh jonggrang, ramping, itu - dipajang di alun-alun kabupaten yang warganya disebut-sebut ada dalam dua wilayah kultural abangan dan santri.

    Bupati Ponorogo (1994-2004) Markum Singodimedjo mencatat: secara kultural, Ponorogo dipilah menjadi dua ”wilayah kultural. Mengikuti garis belahan di tengah, sebelah barat adalah pusat dominasi budaya warok yang abangan. Di sisi timur membentang ke selatan adalah daerah basis budaya santri dengan sentralnya di Tegalsari dan Gontor. Jelas terekam, dalam upaya penggalian identitas Ponorogo dan pembakuan format pertunjukan reog, sebenarnya ikut serta tergulung sebagian pandangan dan wacana masyarakat tentang rumusan identitas (boleh jadi ideologi) serta relasi patron-client.

    Peneliti dari Universitas Darussalam Gontor, Ponorogo, M Fajar Pramono, mengakui, secara kultural, masyarakat Ponorogo masuk wilayah Kulon Kali dan Wetan Kali, yaitu di sisi barat Sungai Sekayu dominan abangan dan di sisi timur lebih islami. Namun, dari perolehan kursi di DPRD Ponorogo, terlihat kelompok abangan mendominasi DPRD. PDI-P (13 kursi), Golkar (12), Demokrat (7), PAN (6), PKB (7), PPP (3), Hanura (3), PKNU (3), dan PKS (1). Meski mutu sumber daya manusia (SDM) warga Kulon Kali terbatas, populasinya lebih tinggi dibandingkan dengan Wetan Kali. Kualitas SDM Wetan Kali lebih tinggi, tetapi tak sesolid warga Kulon Kali.

    Bersamaan dengan maraknya praktik politik uang dalam pilkada setelah UU Otonomi Daerah tahun 1999, menurut Fajar, batas-batas ”ideologi” kepartaian seperti saat Orde Baru berangsur mencair. ”Pondok Gontor sekarang tak lagi berperan seperti situasi tahun 1970-an. Sekarang justru ada peran positif ponpes pada pemberdayaan perekonomian rakyat, yaitu UKM,” kata Fajar.

    Politik uang
    Di tangan Markum, politik identitas digabungkan dengan politik mercusuar. Berbagai simbol dan identitas kultural Ponorogo dibangun habis-habisan. Di mana-mana dibangun patung dan fasilitas terminal bus Songgolangit dan Seloaji.

    Saat politik identitas dan politik uang bersinergi, masyarakat mengalami perubahan. Pertumbuhan ekonomi naik, tetapi pelaku ekonomi mayoritas pendatang. Sekat-sekat ideologi, yang dulu rigid, mulai cair. Tak jarang dalam satu keluarga ditemukan banyak pilihan afiliasi politik. ”Dampak negatifnya, semua ditentukan uang. Birokrat juga main uang dalam mutasi CPNS (calon pegawai negeri sipil),” ujar Fajar. Ini konsekuensi masyarakat yang sudah pintar dan pemilih yang kejam.

    Dari penelitian tahun 2008 di wilayah Tapal Kuda: Situbondo, Probolinggo, dan Pasuruan, ia menemukan kelompok penjudi yang memainkan politik uang. Ia curiga, politik uang dan suap bagian dari upeti, tradisi birokrasi kekuasaan Jawa.

    Terkait dengan politik uang, Lono juga mencatat, panggung pertunjukan reog justru mencapai titik nadir setelah festival tingkat nasional tahun 1995. Penyeragaman format dan isi cerita secara tak terduga telah menjangkitkan pragmatisme berkesenian, dengan sistem borongan dan ngebond. Celakanya, dari beberapa kali festival, grup asal Ponorogo sangat jarang menjadi juara.

  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Mari kita rembug bersama, agar kesenian reog lebih berkwalitas dan berkembang, tetapi jika ngobrol tanpa ada ACTION sama halnya BO'ONG, maka setelah kita ngbrol sambil NGOPI kita TATA gamelan dan langsung kita REOGAN.....

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

Cari Blog Ini



Free Widgets
Free Counter

Networked Blogs

Visitors

Picture of Reog dance

Facebook

Profil Facebook Bahrudin Khoiri

NeoCounter

Follow me

Max Dien - Find me on Bloggers.com

KELANA