Pekanbaru,Tribunpekanbaru.com- Kesenian Reog saat ini
tidak lagi menampilkan unsur mistis dalam pertunjukannya. Sebab seni
asal Ponorogo, Jawa Timur itu kini lebih memperlihatkan unsur keindahan
tarian dalam penampilannya. Maka, sejak hadir di Pekanbaru pada era
80-an, hingga kini Reog makin diterima masyarakat.
Keputusan
untuk tidak menampilkan lagi unsur mistis dalam pertunjukan, sudah
dilakukan sejak Reog makin diterima oleh masyarakat Pekanbaru. Apalagi
sejak berdirinya Paguyuban Reog Singo Taruno di Tangkerang Utara pada
1991 silam.
Mbah Boimin salah satu sesepuh paguyuban tersebut
mengatakan bahwa keputusan itu telah diambil oleh para seniman Reog di
Pekanbaru pada akhir 90-an. Para seniman Reog saat itu bertekad untuk
menghidupkan kesenian Reog sebagai salah satu seni kreasi.
Bahkan,
Paguyuban Singo Taruno memiliki semboyan tersendiri dalam berkesenian.
Semboyan itu berbunyi"Singo taruno joyo tanpo montro, sekti tonpo aji,
joyo lan sekti anugrah saking gusti Allah".
“Jadi kami melakukan
pertunjukan memang sepenuhnya mendapat anugrah Allah, bukan dari mahluk
ghaib,”ungkap pria 71 tahun itu saat ditemui Tribun di ladang kacang
miliknya di Tangkerang Utara, Kamis (03/11).
Dikatakan Guru Besar
Reog Bukit Raya itu, dulunya memang sebelum memainkan Barongan, Warok
atau Jathil dalam Pertunjukan Reog, para penari menyiapkan sesajen.
Namun seiring perkembangan zaman Reog dimainkan sesuai syari’at agama.
Makanya, sejak Paguyuban Singo Taruno berdiri mereka terus menampilkan
tarian kreasi dalam pertunjukan Reog.
Menjadi pemain Reog tak ada
syarat rumit, kata Mbah Boimin. Seperti Barongan (Dadak Merak)
misalnya. Pemain Barongan bisa dilakukan oleh siapa saja baik pria
ataupun wanita. Di Jawa seperti Ponorogo dan Semarang banyak perempuan
yang memainkan Barongan.
Asal penari tersebut punya fisik yang
sehat untuk mengangkat Barongan seberat 50 Kg itu. Maka ia bisa jadi
Barongan.“Tak ada syarat baku atau mistis kok. Namun selama ini
kebanyakan yang jadi Barongan itu ya Pria,” ujarnya.
Termasuk
juga memilih Warok, biasanya harus diperankan orang gemuk, karena
pakemnya demikian. Lalu Bujang Ganong, ialah orang yang gesit dan bisa
akrobat. Serta bisa berperan sebagai punggawa dan perempuan,
Tak
hanya itu, Jathil yang biasanya dibilang orang penuh dengan ajian
pemanis, saat ini juga tak ada lagi. Jathil atau penunggang kuda
lumping, menjadi cantik karena tat arias serta penarinya memiliki wajah
menarik.
Jadi kata Mbah Boimin, pada dasarnya, berdirinya Singo
Taruno sana beberapa Reog di Pekanbaru merupakan pembaruan untuk
memainkan Reog sesuai Syari’at agama.
“Dengan adanya mistis lebih
banyak ruginya dari pada manfaaatnya. Kalau dengan tari kreasi orang
pasti lebih tertarik melihat pertunjukan kita,” terang Mbah Boimin.
Mbah
Boimin, mengaku dirinya sudah memainkan Reog sejak masih tinggal di
sebuah Dukuh kawasan Pacitan, Jawa Timur. Selama di Jawa Timur, kelompok
Reog tempat ia bernaung kerap dipanggil oleh penguasa Orde Baru untuk
kampanye Partai Politik atau sekedar menghibur menteri yang berkunjung
ke Jawa Timur. Bahkan kala itu, ia dan kelompok Reog-nya mendapat
penghargaan dari Menteri Penerangan, Harmoko.
Kini, Mbah Boimin,
lebih banyak menghabiskan waktunya di ladang. Ketimbang melatih para
penari Reog yang bernaung pada paguyubannya. Tapi ia masih berharap
bahwa suatu hari Singo Taruno bisa tampil pada Festivel Grebek Suro di
Ponorogo.
Saat ini yang banyak membina Paguyuban Singo Taruno ia serahkan pada sang anak, Sularno.
Sularno, Pembina Paguyuban Singo Taruno, mengatakan bahwa keberadaan Reog saat ini hendak menghibur masyarakat Pekanbaru.
Apresiasi
masyarakat terhadap seniman Reog terlihat dari undangan pertunjukan
yang mereka terima. Tak hanya dari masyarakat Jawa di Pekanbaru. Tapi
mereka juga diundang dalam acara masyarakat Minang ataupun Melayu.
Seperti saat diundang oleh pihak penyelenggara Riau Expo 2011. Singo
Taruno hadir memperlihatkan kesenian Reog.
“Saat itu masyarakat tampak ramai dan menyambut baik seni Reog,” ungkap Pria yang dijuluki Ki Singo itu.
Dipilihnya
Reog untuk dikembangkan di Pekanbaru, kata Sularno, karena Reog
merupakan seni yang mudah diterima masyarakat. Terutama dalam kisahnya.
“Kisahnya tak serumit wayang,” ujar Sularno.
Selain itu, kata
Sularno saat ini seniman Reog di Pekanbaru berasal dari beragam suku.
Baik Melayu, Jawa ataupun Minang. Bahkan pemain Barongan terbaik di
Paguyuban Singo Taruno berasal dari Minang, tepatnya di Pariaman.
Namanya ialah Marzuki. “Kita suka manggil dia Cempluk,” ungkap Sularno.
Tak
hanya itu, munculnya beragam tari kreasi dari paguyuban tersebut
membuat banyak anak muda yang ingin mempelajari Reog. Seperti yang
dilakukan Kukuh, putra Sularno. Ia kini sering mengajak teman-temannya
untuk ikut dalam pementasan Reog. Serta ikut belajar tari kreasi di
paguyuban. "Kita banyak mengajarkan kesenian Reog di paguyuban. Kalau
yang gaib ikut diajarkan maka pasti mereka tidak diizinkan orang
tuanya," ujar Sularno yang sudah 20 tahun mengembangkan Reog di
Pekanbaru.
Paguyuban Reog binaannya bersama Sukatno (Ki Taruno),
juga sering diundang dalam acara Paguyuban Sosial Keluarga Pacitan
(PSKP) Pekanbaru dan oleh Ikatakan Keluarga Besar Pacitan Pekanbaru
(IKBPP)
"Persatuan orang Pacitan pun sering kita undang untuk menonton pentas Reog Singo Taruno.
Budayawan
Melayu, Tenas Effendi mengatakan bahwa keberadaan seni Reog Ponorogo di
Pekanbaru merupakan warna-warni kebudayaan. Sebab Pekanbaru merupakan
kota yang terdiri atas masyarakat yang multietnis.
Keberadaan
Reog Ponorogo, kata Tenas, makin menambah keberagaman kebudayaan di
Pekanbaru. “Keberagaman itulah yang membuat kebudayaan di Pekanbaru jadi
lebih berwarna dan indah,” ujar Tenas.
Selain itu, kata Tenas,
Eksistensi Reog sejak tahun 80 -an kini memang tetap terjaga. Sebab
masyarakat Ponorogo di Pekanbaru terus melestarikan Reog dan
memperkenalkannya pada masyarakat Pekanbaru. Sehingga membawa iklim
positif sebagai salah satu kebudayaan yang hidup di Riau.
Keberadaan
Reog terus berkembang bersama aneka hasil kebudayaan Melayu. Terutama
dalam memperkaya kebudayaan Riau dalam Visi Riau 2020.
"Jadi taman kebudayaan makin berwarna dengan adanya Reog dan kebudayaan etnis lainnya di Pekanbaru dan Riau," papar Tenas
Sumber : http://pekanbaru.tribunnews.com/2011/11/03/sekarang-reog-tak-mistis-lagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita rembug bersama, agar kesenian reog lebih berkwalitas dan berkembang, tetapi jika ngobrol tanpa ada ACTION sama halnya BO'ONG, maka setelah kita ngbrol sambil NGOPI kita TATA gamelan dan langsung kita REOGAN.....