• Reog di Jalur Selatan Pendalungan

    Jalur selatan Pendalungan adalah rumah bagi seni tradisi reog. Pendalungan adalah sebutan wilayah Jember, karena di sana hidup dua etnis dengan kultur yang bertolak belakang: Jawa dan Madura. Selatan adalah tempat warga beretnis Jawa Mataraman berkumpul.

    Awalnya adalah migrasi. Pemerintah kolonial membawa para kuli perkebunan dari wilayah Mataraman untuk bekerja di Jember. Belanda menjadikan Jember sebagai daerah pemasok hasil perkebunan, mulai dari tembakau hingga gula.

    Dipisahkan dari kampung halaman, para kuli ini membentuk kelompok-kelompok seni reog sebagai katarsis dan oase nostalgia, juga penguatan identitas diri. Ini meyakinkan kita, bahwa seni tradisi merupakan bagian dari ikhtiar mengenang dan mengikatkan diri dengan kampung halaman.

    Belum ada yang bisa memastikan kapan persisnya reog pertama kali ada di Jember. Namun, Zarkasi, salah satu pelatih reog di Universitas Jember mengatakan, ada dua kelompok reog tertua di Jember, yakni di Desa Pontang Kecamatan Ambulu dan Desa Kesilir Kecamatan Wuluhan.

    Kelompok-kelompok seni tradisi reog ini tumbuh di wilayah Jember selatan, seperti Kalisanen, Sidodadi, Pontang, Ambulu, Wuluhan, hingga Kecamatan Kencong. Setidaknya, ada 23 kelompok yang hidup dan tumbuh di Jember.

    Dan, menghidupi seni tradisi di masa sekarang seperti menegakkan benang basah. Ini urusan kerelaan hati, tidak yang lain. Motif keuntungan ekonomi jelas tak masuk dalam daftar motivasi. "Sekali pentas, kalau di Jember, dihargai Rp 750 ribu sampai Rp 1 juta. Adanya segitu ya kita lakoni saja. Kalau pas kekurangan, ya patungan," kata Zarkasi.

    Padahal, mendanai agar kelompok reog tetap hidup butuh dana tak sedikit. "Beli barongnya saja mahal," kata Edi Suryanto, salah satu seniman reog dari Wuluhan.

    Karena ini urusan kerelaan, maka swadaya dan kemandirian menjadi pegangan. Sulit berharap dari pemerintah daerah yang lebih suka mendanai klub sepakbola daripada kelompok kesenian. Bertahun-tahun klub sepakbola di Jember menghabiskan miliaran rupiah tanpa prestasi. Sementara kelompok reog di Jember dalam kesunyian menembus sepuluh besar festival reog nasional November 2011 lalu.

    Di tengah sepinya perhatian pemerintah daerah, Universitas Jember mengisi kekosongan. Di sini, lahir paguyuban seni reog mahasiswa bernama Sardulo Anorogo, yang berarti harimau yang rendah hati. Rektorat juga menyokong kegiatan reog, dengan membuat acara pentas kolosal setiap tahun yang dibarengkan dengan peringatan hari jadi perguruan tinggi itu.

    Selama ini, ada persoalan regenerasi kelompok reog yang berada jauh dari Ponorogo. Regenerasi paling sulit ada di posisi pembarong dan pengrawit, terutama untuk posisi peniup terompet dan penabuh kendang.

    Di Situbondo, grup reog satu-satunya di sana harus mati suri. "Dananya kuat, pemainnya yang tidak ada. Sulit sekali mengarahkan pemain reog yang bersuku Madura. Mungkin karena memang tidak begitu suka dan menjiwai," kata Sunarto, salah satu pegiat reog di Situbondo.

    Kehadiran Sardulo Anorogo di Jember membuat persebaran peminat reog lebih beragam, dan ini mempermudah regenerasi. Saya ingat, dalam percakapan tahun lalu, pegiat Sardulo, Hiding Cahyono, mengatakan, anggota paguyuban mereka berasal dari Lumajang, Gresik, Tulungagung, Jember, Probolinggo, dan bahkan dari Bali.

    Rekrutmen paguyuban ini cukup lunak. Siapapun boleh datang, dan kekeluargaan menjadi daya pikat pertama. "Misi kami pengembangan budaya Indonesia, bukan lagi budaya lokal," kata Hiding saat itu.

    Jika dihitung sejak 1993 hingga saat ini, paguyuban tersebut sudah memiliki seribu anggota. Sebagian dari mereka kini memiliki kelompok reog sendiri atau melatih di sekolah-sekolah di Ngawi, Madiun, atau di Ponorogo sendiri. Kemampuan berdiaspora ini yang membuat reog sulit mati.

    Dari sisi pakem, Sardulo Anorogo juga mampu menyumbangkan warna tersendiri. Suharto, salah satu pendirinya, mengatakan, Sardulo Anorogo mengadaptasi gerakan-gerakan seni tradisi lain, seperti gaya gamelan Banyuwangi, gamelan jaranan, atau penambahan model atraksi. Pakem utama memang masih ke reog Ponorogo, namun ada warna lokalitas Pendalungan.

    November lalu, para seniman reog Jember membentuk kelompok Forum Kesenian Reog Sekabupaten Jember. Saya menangkap ada semangat baru, dan ini dibenarkan oleh Edi Suryanto. "Sekarang lebih bersemangat, sejak reog diklaim oleh Malaysia," katanya.

    Urusan politik memang bisa berdampak banyak hal. Hari ini, ketegangan 'politik kesenian' antara Malaysia memang melecut para seniman reog Jember lebih bekerja keras. Namun, di era 1913-1932, reog pernah dilarang oleh pemerintah Belanda, karena selalu menimbulkan masalah keamanan. Reog dianggap sebagai metamorfosis primordialisme identitas desa di Ponorogo yang sering berujung pada kekerasan.

    Tahun 1948 dan 1965, reog sempat kena berangus karena dianggap tersangkut paut dengan komunis. Tahun 1965 kekuatan reog terbelah berdasarkan ideologi (Barisan Reog Nasional yang berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia, Barisan Reog Ponorogo yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, dan Cabang Reog Agama yang berafiliasi dengan NU). Awal-awal masa Orde Baru lantas menjadi masa suram bagi seni tradisi reog.

    http://www.beritajatim.com/sorotan.php?newsid=1052
  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Mari kita rembug bersama, agar kesenian reog lebih berkwalitas dan berkembang, tetapi jika ngobrol tanpa ada ACTION sama halnya BO'ONG, maka setelah kita ngbrol sambil NGOPI kita TATA gamelan dan langsung kita REOGAN.....

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

Cari Blog Ini



Free Widgets
Free Counter

Networked Blogs

Visitors

Picture of Reog dance

Facebook

Profil Facebook Bahrudin Khoiri

NeoCounter

Follow me

Max Dien - Find me on Bloggers.com

KELANA