Sekali Ikut Langsung Berprestasi
Pawargo Probolinggo meraih prestasi dalam Festival Reog Nasional XIV Grebeg Suro yang diselenggarakan di alun-alun Ponorogo, 5-10 Januari lalu. Kelompok ini berhasil meraih lima besar kategori pembina reog terbaik.
FAMY D. MAULIDA, Probolinggo
—
Festival Reog Nasional XIV Grebeg Suro pada 5-10 Januari lalu di alun-alun Ponorogo menjadi ajang festival besar pertama yang diikuti kelompok reog Pawargo Probolinggo. Ada perasaan grogi ketika tampil di daerah yang menjadi “kandang” reog itu.
Namun, festival berskala nasional itu tak menciutkan Pawargo (Paguyuban Warga Ponorogo) Probolinggo untuk ikut bersaing dengan 82 grup dari daerah-daerah di Indonesia. Reog Bantar Angin milik Pawargo Probolinggo berhasil menyabet juara lima besar kategori pembina reog terbaik.
Siang kemarin, Radar Bromo mendatangi base camp Pawargo Probolinggo di Jalan Citarum, Kelurahan Curahgrinting, Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo.
Base camp sekaligus tempat latihan para pecinta kesenian reog Ponorogo ini nampak sepi.
Lalu dari balik mobil warna silver yang parkir di garasi, tepat di sebelah utara ruang latihan, muncul seorang laki-laki yang wajahnya sudah tak asing lagi. Dialah Ketua Reog Bantar Angin Pawargo Probolinggo H Harijadi.
Dengan senyum familiarnya Radar Bromo dipersilahkan masuk di dalam tempat latihan. Tak lama kemudian Harijadi muncul dengan membawa thropi kemenangannya di festival reog ponorogo.
“Tidak disangka, sekali ikut kami langsung menang. Padahal ada satu grup dari Lampung yang sudah 11 kali ikut, baru dapat satu kali saja,” ucap pria berkacamata sambil tersenyum bangga.
Harijadi lantas bercerita mengenai penampilannya bersama peserta yang lain saat mentas di panggung selebar 40 meter. Cerita yang dibawakan tak jauh berbeda dari alur cerita reog. Hanya butuh sedikit improvisasi pada gerak tari dan musik.
Pawargo Probolinggo pun memboyong 2 reog, 12 warok, 14 jatil, 16 yago (penabuh musik), 2 pembarong, 1 klonoswandono dan 1 bujanganom. Setiap satu grup hanya diberi durasi selama 25 menit. Jika lebih dari waktu yang disediakan maka dinyatakan kalah.
“Untungnya tepat saat memberikan salam, waktunya habis. Jadi tarian kita tidak lebih dari batas waktu yang ada,” ucapnya. Ketepatan waktu membawakan reog bukan tanpa latihan. Selama dua bulan lamanya mereka berlatih untuk mengikuti festival tingkat nasional kali pertama.
Lantas bagaimana ceritanya kelompok ini sampai bisa mengikuti festival tersebut? Reog Bantar Angin milik Pawargo Probolinggo ini ternyata sudah terdaftar di Yayasan Reog Ponorogo di Ponorogo. Reog Bantar Angin terdaftar melalui Kantor Pemuda, Budaya dan Pariwisata Pemkot Probolinggo.
Nah, karena sudah terdaftar maka ditawari untuk tampil ikut festival. “Saya sampai mendatangkan lima orang pelatih reog dari Ponorogo. Karena kita sangat grogi main di kandang reog,” ucap pria yang kemarin mengenakan kaos hitam bergambar warok itu.
Pada saat tampil, segala macam bentuk demam panggung ikut dirasakan baik pemain atau keluarga. Yang tidak ikut tampil sampai bolak-balik ke kamar mandi. “Maklum karena baru sekali ini kami main di even besar begitu dan saingan di festival itu sangat berat,” tutur Harijadi.
Namun pada akhirnya mereka bisa memecahkan rasa grogi, down dan takut dengan kemenangan. Usai tampil mereka kembali ke Probolinggo, beberapa saat kemudian Yayasan Reog Ponorogo menghubungi dan meminta agar Pawargo mengirimkan delegasinya ke Ponorogo.
Di sanalah Harijadi dan sejumlah peserta menerima penghargaan berupa trofi dan sertifikat. “Sungguh tidak menyangka. Sebenarnya jauh dari pikiran kalau bakal menang,” ujarnya serasa masih tak percaya.
Setelah mencetak prestasi pertamanya, Reog Bantar Angin akan terus berkreasi dan mengembangkan kesenian asli Ponorogo ini. “Kami sangat bangga, karena dukungan pemerintah juga akhirnya kami bisa,” tuturnya lagi.
Diketahui, biasanya Reog Bantar Angin Pawargo Probolinggo ini tampil di acara-acara Pemkot Probolinggo atau acara pemerintahan daerah lain. Sehingga tampil di luaran menjadi hal baru bagi paguyuban seni reog yang memiliki anggota lebih dari 65 orang ini.
Sedikit menengok historis, Pawargo Probolinggo yang diketuai oleh Sukirman ini baru berusia satu tahun lebih dua bulan. Awalnya hanya berupa perkumpulan, arisan dan koperasi sampai akhirnya melebar ke seni reog karena mayoritas anggota Pawargo adalah orang Ponorogo yang berdomisili di Probolinggo.
Tapi jangan salah. Personel reog Bantar Angin tidak semuanya warga asli Ponorogo. Ada dari Madura, Probolinggo, Kediri, Malang, Jember dan Banyuwangi. Mereka berasal dari beragam profesi, seperti polisi, ABRI, tukang becak, pengusaha, mahasiswa, siswa sekolah dan PNS.
Hingga kini, dari 65 personel usianya pun beragam. Dari 12 tahun sampai 60 tahun pun ada. “Sebenarnya tujuan adanya Pawargo ini untuk mengumpulkan warga agar saling berkomunikasi, saling mengisi, mempererat persaudaraan dan melestarikan budaya,” ujar pria berusia 56 tahun itu.
Harijadi mengatakan, keahlian pemain reog Bantar Angin tanpa ilmu magic. “Ilmu itu murni hanya seni. Kemampuan yang bisa dilakukan hanya dengan latihan-latihan saja. Saya juga ingin meluruskan bermain reog tak harus minum alkohol. Tidak ada hubungannya antara alkohol dan reog,” tegasnya.
Demi menjaga kelestarian budaya yang satu ini, Pawargo Probolinggo akan mengadakan rekrutmen bagi personel baru. Dengan cara membuka cabang Pawargo di Leces dan Kraksaan.
“Rekrutmen memang sulit, karena kita dituntut agar bisa mempertahankan seni warisan nenek moyang. Perlu diingat bergabung dalam reog Bantar Angin Pawargo Probolinggo bukan sekedar mencari uang, tapi menjaga seni budaya kita ,” tuturnya
Pawargo Probolinggo meraih prestasi dalam Festival Reog Nasional XIV Grebeg Suro yang diselenggarakan di alun-alun Ponorogo, 5-10 Januari lalu. Kelompok ini berhasil meraih lima besar kategori pembina reog terbaik.
FAMY D. MAULIDA, Probolinggo
—
Festival Reog Nasional XIV Grebeg Suro pada 5-10 Januari lalu di alun-alun Ponorogo menjadi ajang festival besar pertama yang diikuti kelompok reog Pawargo Probolinggo. Ada perasaan grogi ketika tampil di daerah yang menjadi “kandang” reog itu.
Namun, festival berskala nasional itu tak menciutkan Pawargo (Paguyuban Warga Ponorogo) Probolinggo untuk ikut bersaing dengan 82 grup dari daerah-daerah di Indonesia. Reog Bantar Angin milik Pawargo Probolinggo berhasil menyabet juara lima besar kategori pembina reog terbaik.
Siang kemarin, Radar Bromo mendatangi base camp Pawargo Probolinggo di Jalan Citarum, Kelurahan Curahgrinting, Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo.
Base camp sekaligus tempat latihan para pecinta kesenian reog Ponorogo ini nampak sepi.
Lalu dari balik mobil warna silver yang parkir di garasi, tepat di sebelah utara ruang latihan, muncul seorang laki-laki yang wajahnya sudah tak asing lagi. Dialah Ketua Reog Bantar Angin Pawargo Probolinggo H Harijadi.
Dengan senyum familiarnya Radar Bromo dipersilahkan masuk di dalam tempat latihan. Tak lama kemudian Harijadi muncul dengan membawa thropi kemenangannya di festival reog ponorogo.
“Tidak disangka, sekali ikut kami langsung menang. Padahal ada satu grup dari Lampung yang sudah 11 kali ikut, baru dapat satu kali saja,” ucap pria berkacamata sambil tersenyum bangga.
Harijadi lantas bercerita mengenai penampilannya bersama peserta yang lain saat mentas di panggung selebar 40 meter. Cerita yang dibawakan tak jauh berbeda dari alur cerita reog. Hanya butuh sedikit improvisasi pada gerak tari dan musik.
Pawargo Probolinggo pun memboyong 2 reog, 12 warok, 14 jatil, 16 yago (penabuh musik), 2 pembarong, 1 klonoswandono dan 1 bujanganom. Setiap satu grup hanya diberi durasi selama 25 menit. Jika lebih dari waktu yang disediakan maka dinyatakan kalah.
“Untungnya tepat saat memberikan salam, waktunya habis. Jadi tarian kita tidak lebih dari batas waktu yang ada,” ucapnya. Ketepatan waktu membawakan reog bukan tanpa latihan. Selama dua bulan lamanya mereka berlatih untuk mengikuti festival tingkat nasional kali pertama.
Lantas bagaimana ceritanya kelompok ini sampai bisa mengikuti festival tersebut? Reog Bantar Angin milik Pawargo Probolinggo ini ternyata sudah terdaftar di Yayasan Reog Ponorogo di Ponorogo. Reog Bantar Angin terdaftar melalui Kantor Pemuda, Budaya dan Pariwisata Pemkot Probolinggo.
Nah, karena sudah terdaftar maka ditawari untuk tampil ikut festival. “Saya sampai mendatangkan lima orang pelatih reog dari Ponorogo. Karena kita sangat grogi main di kandang reog,” ucap pria yang kemarin mengenakan kaos hitam bergambar warok itu.
Pada saat tampil, segala macam bentuk demam panggung ikut dirasakan baik pemain atau keluarga. Yang tidak ikut tampil sampai bolak-balik ke kamar mandi. “Maklum karena baru sekali ini kami main di even besar begitu dan saingan di festival itu sangat berat,” tutur Harijadi.
Namun pada akhirnya mereka bisa memecahkan rasa grogi, down dan takut dengan kemenangan. Usai tampil mereka kembali ke Probolinggo, beberapa saat kemudian Yayasan Reog Ponorogo menghubungi dan meminta agar Pawargo mengirimkan delegasinya ke Ponorogo.
Di sanalah Harijadi dan sejumlah peserta menerima penghargaan berupa trofi dan sertifikat. “Sungguh tidak menyangka. Sebenarnya jauh dari pikiran kalau bakal menang,” ujarnya serasa masih tak percaya.
Setelah mencetak prestasi pertamanya, Reog Bantar Angin akan terus berkreasi dan mengembangkan kesenian asli Ponorogo ini. “Kami sangat bangga, karena dukungan pemerintah juga akhirnya kami bisa,” tuturnya lagi.
Diketahui, biasanya Reog Bantar Angin Pawargo Probolinggo ini tampil di acara-acara Pemkot Probolinggo atau acara pemerintahan daerah lain. Sehingga tampil di luaran menjadi hal baru bagi paguyuban seni reog yang memiliki anggota lebih dari 65 orang ini.
Sedikit menengok historis, Pawargo Probolinggo yang diketuai oleh Sukirman ini baru berusia satu tahun lebih dua bulan. Awalnya hanya berupa perkumpulan, arisan dan koperasi sampai akhirnya melebar ke seni reog karena mayoritas anggota Pawargo adalah orang Ponorogo yang berdomisili di Probolinggo.
Tapi jangan salah. Personel reog Bantar Angin tidak semuanya warga asli Ponorogo. Ada dari Madura, Probolinggo, Kediri, Malang, Jember dan Banyuwangi. Mereka berasal dari beragam profesi, seperti polisi, ABRI, tukang becak, pengusaha, mahasiswa, siswa sekolah dan PNS.
Hingga kini, dari 65 personel usianya pun beragam. Dari 12 tahun sampai 60 tahun pun ada. “Sebenarnya tujuan adanya Pawargo ini untuk mengumpulkan warga agar saling berkomunikasi, saling mengisi, mempererat persaudaraan dan melestarikan budaya,” ujar pria berusia 56 tahun itu.
Harijadi mengatakan, keahlian pemain reog Bantar Angin tanpa ilmu magic. “Ilmu itu murni hanya seni. Kemampuan yang bisa dilakukan hanya dengan latihan-latihan saja. Saya juga ingin meluruskan bermain reog tak harus minum alkohol. Tidak ada hubungannya antara alkohol dan reog,” tegasnya.
Demi menjaga kelestarian budaya yang satu ini, Pawargo Probolinggo akan mengadakan rekrutmen bagi personel baru. Dengan cara membuka cabang Pawargo di Leces dan Kraksaan.
“Rekrutmen memang sulit, karena kita dituntut agar bisa mempertahankan seni warisan nenek moyang. Perlu diingat bergabung dalam reog Bantar Angin Pawargo Probolinggo bukan sekedar mencari uang, tapi menjaga seni budaya kita ,” tuturnya
Radar Bromo, 12 Januari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita rembug bersama, agar kesenian reog lebih berkwalitas dan berkembang, tetapi jika ngobrol tanpa ada ACTION sama halnya BO'ONG, maka setelah kita ngbrol sambil NGOPI kita TATA gamelan dan langsung kita REOGAN.....